Tidak ada yang mengatakan sepatah kata pun, tidak juga membuat gerakan barang sedikit ketika Amber melanjutkan tangis yang teramat pilu menggema di ruangan sempit itu. David beberapa kali melirik, jarinya mengetuk meja berulang kali, ragu-ragu ingin menenangkan gadis itu. Begitu juga Eddy yang bahkan sudah siap bergeser dari kursinya. Namun, belum sempat siapa pun mencoba. Amber sudah mengangkat kembali wajahnya, tampak kesal dan marah. Semua itu tertuju kepada Arial, yang malah asyik mengupil.
“Benarkah begitu? Benarkah aku terlihat sehina itu?” jeritnya parau. “Semua orang mengatakan hal sama kepadaku bahkan sebelum mereka benar-benar mengenalku. Aku tidak pernah peduli perkataan mereka! Aku berusaha keras untuk tidak peduli!”
Arial masih enggan menoleh, tapi telinga kananya terasa panas. Sebenarnya, seluruh sisi kepala bagian kanannya terasa panas.
“Aku ... hanya ingin menjadi diri sendiri. Aku suka penampilan ini, aku menikmatinya, penampilan ini membuatku percaya diri! Apakah itu salah? Jawab aku, apakah itu salah!” Suara Amber naik beberapa oktaf, membuat semua terlonjak singkat, bahkan Arial di bangkunya.
“Te—tentu tidak ....” David menjawab terbata-bata.
“Tidak, ‘kan? Memang tidak pernah salah. Aku tidak pernah punya maksud memuaskan siapa pun selain diriku sendiri. Aku tidak pernah berdandan untuk orang lain selian diriku sendiri!” Gadis itu tergugu melanjutkan. “Tapi kenyataannya tidak begitu di mata para bedebah sialan! Mereka pikir aku berpakaian bagus untuk menggoda mereka, dipikirnya aku berdandan, memakai parfum, memakai lipstick, untuk memuaskan hasrat mereka!”
Untuk kali ini saja, Arial akhirnya berani menoleh, lantas mendapati wajah paling tersakiti yang pernah ada dalam ekspresi seseorang. Amber telihat begitu kacau, begitu terluka, dan manik amber itu menyorot tajam kepadanya penuh kebencian.
“Demi Tuhan, aku tidak pernah menggoda siapa pun! Lebih baik mati membusuk daripada melakukan hal serendah itu!” Amber menekan segala kalimat yang keluar dari mulutnya. “Aku tidak pernah bersalah. Aku bersumpah, aku adalah korban, tapi apa yang kudapatkan? Caci maki dan sumpah serapah. Mereka ... mereka tidak mau tahu ....”
“Mereka bilang semua salahku ... mereka bilang aku pantas mendapatkan hukuman paling berat. Aku ... aku ....”
“Amber sudahlah jangan dilanjutkan kalau kau tidak mau. Kami sudah cukup mengerti,” bujuk Eddy.
Amber menarik napas dalam-dalam. “Aku bukan perempuan penggoda! Aku tidak sehina itu! Tidak akan pernah! Tanam itu dalam kepalamu!”
Setelah mengatakan kalimat barusan, ia kembali membenamkan wajah pada meja, melanjutkan tangis yang meskipun tidak separah tadi, tapi tetap memilukan. Ketiga pasang mata yang tadi fokus kepada Amber, kini beralih kepada Arial penuh penghakiman.
“Seharusnya kau tidak bicara begitu. Kau bahkan tidak mengenalnya!” geram Eddy. “Tahu tidak, kau bukan hanya mulut besar, tapi mulut sampah!”
“Semua orang bebas berpendapat, ‘kan?” Arial mecoba santai, meskipun nada bicaranya tak lagi mantap.
“Kalau pendapatmu membuat orang lain sakit hati, lebih baik tidak usah berpendapat. Tidak ada yang mau tahu pendapat dari mulut sampah sepertimu!”
Pemuda urakan itu mendorong meja sampai terguling, lalu menunjuk dahi Eddy penuh emosi. “Kalau kau sebegitu sayangnya pada ratumu, kenapa tidak bawa pulang dan buat dia berhenti menangis!”
“Hey, sok galak tidak membuatmu jadi orang benar,” sahut Bell tanpa menarik urat. “Kau seharusnya malu, perkataanmu kepada Amber tadi bukannya sesuatu yang keren. Kau bajingan! Minta maaf padanya!”
Arial bungkam seketika, meski matanya masih memelotot, diikuti napas menderu. Pemuda itu sadar, ketika orang paling aneh mulai berpendapat, artinya ia benar-benar harus tutup mulut. Arial berpaling ke arah Amber yang tak lagi terisak, tapi masih membenamkan wajah ke meja. Pemuda itu menarik napas lalu mengembuskannya keras-keras, lalu mendecak sambil mengacak rambut, lalu memijat kening. Entah apa yang dilakukannya. Langkahnya maju-mundur seperti orang ling-lung.
“Kau harus minta maaf, Bung. Cepat!” bisik David.
“Berisik!” hardik Arial, saat pemuda kurus itu terus saja mendorongnya.
Setelah mengatur napas beberapa kali, Arial memaksakan diri berjalan ke meja Amber sambil terus mengacak rambut. Ia bersimpuh persis di depan meja, membuat posisi mereka berhadapan.
“Hei, sudahlah jangan menangis, dasar cengeng! Tadi itu cuma pendapatku, kalau ternyata salah, ya ... aku minta maaf.”