Eddy mengembuskan napas beberapa kali, menggosok-gosok tangan sangat cepat sampai memerah. Entah kenapa pendingin ruangan tua di hadapan mereka tiba-tiba terasa sangat dingin. Pemuda atletis itu melirik setiap mata yang tengah fokus kepadanya, lalu mendesah.
“Aku tidak pernah mau menceritakan ini kepada siapa pun, karena tidak akan ada satu orang pun yang akan memaafkanku. Terutama pada kalian, ini akan menjadi kesan pertama yang sangat buruk,” keluhnya.
Tidak ada yang menanggapi kalimat itu lantaran mereka ingin segera mendengarkan kisah sang Raja Sekolah. Orang paling keren, paling tampan, paling sempurna, membuat setiap laki-laki berharap menjadi dirinya.
“Kisah ini terjadi saat awal masuk SMA. Saat itu aku bukan siapa-siapa, tapi aku ingin menjadi seseorang.” Eddy melanjutkan. “Kalian tahu ... di klub football, mungkin di klub mana pun, pasti ada yang disebut Anak Bawang. Satu anggota yang tidak akan pernah bisa sekeren anggota inti, tapi cukup berguna untuk hal lain sehingga dia tidak pernah dikeluarkan dari tim.”
“Anak bawang biasanya rela melakukan apa pun demi bisa ‘terlihat’. Maka anggota inti juga tidak keberatan mengabulkan keinginannya. memperalat si Anak Bawang sesuka hati. Meskipun tahu, si Anak Bawang tidak akan pernah menjadi bagian dari kami.”
Dahi David terlipat layaknya karpet kusut. Meski tidak secara harfiah, ia tahu persis apa yang telah dilakukan Eddy.
“Si Anak Bawang ini ... aku yang paling gemar mengerjainya, kapan pun dan di mana pun. Sampai teman-teman satu tim memuji betapa tak berperasaannya diriku dan betapa jagoannya aku jika dibandingkan dengannya,” lanjut pemuda atletis itu. “Semua pujian itu masuk ke dalam kepalaku yang semakin membesar bak balon, jadi semakin besar juga usahaku untuk mengerjainya, membuat diriku berada di posisi teratas.”
“Aku tahu dia menderita, tahu persis dia tersiksa dengan semua itu. Tapi aku tidak peduli sama sekali. Toh aku terkenal kuat dan jagoan, akulah orang paling berkuasa dalam tim hingga tak ada yang berani macam-macam. Dia pun tidak pernah melawan atau membela dirinya sendiri, sebab dia yakin suatu hari nanti, dia akan menjadi sekeren diriku. Sang Jagoan. Atau setidaknya menjadi sahabat sang Jagoan.”
Eddy mengubah posisi duduknya beberapa kali, tampak seperti akan sampai di bagian tersulit dari kisahnya. Ia kembali menggosok telapak tangan beberapa kali, napasnya tersendat-sendat.
“Suatu hari dia bertanya, ‘kapan aku bisa menjadi tim inti?’. Aku tahu itu adalah titik paling lelahnya, mungkin dia mau menyerah kalau aku bilang ‘tidak akan pernah’. Tapi aku malah membuat sebuah kesepakatan.” Eddy terdiam sejenak sebelum melanjutkan. “Kalau dia bisa tutup mulut seharian penuh, aku akan menjadikannya tim inti hari itu juga. Bahkan menjadikannya satu posisi di bawahku yang saat itu sebagai quadbacker.”
Manik cokelat terang pemuda itu terarah kepada yang lain satu per satu, memastikan mereka mendengar dengan jelas, dan mereka memang melakukan itu. Bahkan fokus mereka membuat Eddy khawatir.
“Tutup mulut yang berarti ... aku menyatukan kedua bibirnya dengan lem super dan membiarkannya begitu seharian.” Pemuda itu terbata-bata. “Saat sore tiba, lem di bibirnya sudah mengering hingga mustahil bisa terlepas. Tapi ... kami tetap memaksanya buka mulut ... Benar-benar memaksanya sekuat tenaga. Lalu ... kulit bibirnya ....”
“Jangan dilanjutkan!” entak Amber. Tak sanggup lagi membayangkan apa yang terjadi selanjutnya.
Sejak tadi tubuhnya ikut bergetar, dan sekarang matanya berkaca-kaca. Kini Eddy tidak berani menatap wajah siapa pun. Padahal Arial memelotot kepadanya, sedangkan wajah Bell sedingin es. Namun, semua itu tidak ada apa-apanya dibandingkan reaksi David yang napasnya terengah-engah, kedua tangannya gemetar, seolah dia sendiri yang mengalami hal tersebut.