“Memangnya kau tidak percaya pada teman-temanmu?” Eddy akhirnya berani bicara, melihat emosi David sudah mereda.
“Entah aku memiliki teman atau tidak. Tak satu pun dari Mereka bisa dipercaya.”
Arial dan Amber bertukar pandang tidak mengerti. Dapat disimpulkan bahwa pemuda cungkring itu memang memiliki teman, itu juga berarti David tidak terlalu menjadi target perundungan karena dia pintar. Akan tetapi, kenapa dia menjadi yang paling terpengaruh dengan cerita Eddy.
“Seperti ucapanmu tadi, Arial. Keluargaku memang sempurna dan aku memang anak kesayangan dari lima bersaudara. Tapi percayalah, aku pintar bukan karena kasih sayang, melainkan aku mendapatkan kasih sayang karena aku pintar ....” Kalimatnya berhenti sejenak, menunggu setiap mata fokus.
“Aku jarang tidur demi mengejar nilai, ikut berbagai les akademis, bahkan mengambil kelas piano dan biola sekaligus. Benar-benar memeras otak supaya bisa menjadi seperti sekarang. Saudara dan sepupuku ada banyak, dan aku berhasil menjadi anak emas di antara mereka.”
“Tapi, itu juga menjadikanku anak yang lemah, cupu, kutu buku, apa pun kalian menyebutnya ... terkadang orang-orang seperti Eddy mempermainkanku.”
Pengakuan barusan membuat pemuda atletis bermata cokelat itu gugup lagi.
“Bagiku tingkah mereka tidak penting. Mungkin karena aku tidak pernah memedulikan mereka, jadi mereka bosan dan mulai meninggalkanku. Bisa dibilang kehidupan sekolahku berjalan lancar sejauh ini. Sampai suatu hari di olimpiade nasional, semua orang mengandalkanku, menjadikanku kartu emas andalan. Bahkan lemari piala sudah disiapkan, sebegitu yakinnya semua orang bahwa aku akan menang.”
Wajah-wajah yang mendengarkan mulai berkerut. Bingung sekaligus menebak-nebak apa yang terjadi lantara kisah itu benar-benar sempurna. David tersenyum sangat tipis, menerawang seolah kembali pada saat itu. Ruangan besar dengan ratusan penonton, serta ribuan penonton lain lewat televisi. Sorot lampu ruangan serta kilatan kamera begitu tak terbayangkan megahnya.
“Saat itu, pertanyaan terakhir dan aku gugup ... huforia sekitar membuatku hilang fokus sehingga tanpa sadar malah menambahkan minus dalam sebuah bilangan. Tentu saja hasilnya salah, dan lemari piala itu masih kosong sampai sekarang.”
Tidak ada yang bisa berbuat banyak ketika David kembali terisak. Bahkan untuk pertama kalinya wajah si berandal berkerut prihatin. Amber memeluk dirinya sendiri, ingin sekali menenangkan pemuda itu, tapi rasa canggung mengalahkannya. Sedangkan Bell belum mengubah ekspresi dinginnya selama lima menit.
“Semua orang yang mengandalkanku, orang-orang yang aku anggap akan selalu ada dalam susah dan senang, mereka semua menyalahkanku. Aku ingat betul tatapan sinis para guru, teman-teman satu klub, bahkan tatapan ibuku. Dia kecewa dan marah,” lanjut David terbata-bata. “Tidak ada yang mau bicara padaku selama beberapa bulan. Sekali pun bicara, mereka akan menyinggung hari itu. Betapa cerobohnya aku, betapa tidak bergunanya, betapa fatalnya kesalahan yang kubuat.”
“Bagi mereka, wajahku mengingatkan pada alasan mengapa lemari piala mewah itu kosong, lantas kalimat-kalimat sinis akan terucap lagi dan lagi. Tekanan itu terlalu berat sampai aku nyaris mengakhiri hidup seseorang ....”
“Astaga, kau mau membunuh orang tuamu atau guru?” Eddy menyambar.
“Diriku sendiri.” Lagi-lagi pemuda kurus itu berhasil membuat suasana hening. “Mr. Oliver sendiri yang memergokiku nyaris meneguk cairan pembersih kamar mandi. Dia langsung menamparku, dan menyuruh ke sini di hari Sabtu.”
“Dave, mengakhiri hidup bukan jawaban dari masalah apa pun,” kata Amber setelah hening beberapa detik.