“Masa kau tidak pernah ikut tim olah raga apa pun seumur hidupmu?” tanya Eddy terheran-heran. “Kau benar cowok, ‘kan?”
“Tentu saja memangnya aku terlihat seperti apa?”
Ketiga remaja laki-laki itu berada di bagian belakang kelas. Bangku dan meja disudutkan ke samping sehingga menciptakan lapak kosong cukup luas. Tadinya mereka akan bermain bola menggunakan gumpalan kertas, tapi David bilang ia tidak tahu peraturannya. Pengakuan itu membuat Eddy menganga tersinggung, sementara Arial tertawa penuh ejekan.
“Bagaimana kalau kasti? Semua orang main kasti ketika masih bocah. Atau ... jangan-jangan kau juga tidak pernah menjadi bocah?”
“Tentu saja aku pernah kecil! Tapi ... masa kecilku dihabiskan di rumah saja.” David mengusap dagu, keningnya berkerut menerawang. “Begitulah ... aku mengikuti banyak les privat dari usia lima tahun. Tidak ada waktu bermain di luar.”
Kedua mata Eddy kembali terbelalak, seolah David adalah makhluk langka yang sudah lama punah, dan ternyata masih hidup, atau malah bukan makhluk bumi sama sekali.
“Kau benar-benar Kutu Buku! Tidak heran kulitmu bisa selembut pantat bayi.”
Pemuda kurus itu mengangkat bahu sekilas. “Setidaknya aku memang pernah menjadi atlet catur.”
“Itu bukan olah raga!” entak Eddy.
“Itu olah raga ... untuk otak!”
“Bagaimana kalau bela diri?” Arial menyambar saat tawanya mereda. Namun, David tetap menggeleng.
Pemuda gondrong itu menggeleng perihatin, lantas merangkul David. “Beruntungnya dirimu, Dave. Aku pernah ikut Muay Thai, dan aku akan mengajarkanmu beberapa teknik hebat.”
“Muay apa? Apa itu?”
Bukannya menjawab, Arial malah memiting leher David. Mengaitkan tangannya ke belakang leher, dan menyelengkat kedua kakinya sehingga pemuda kurus itu suskses mencium lantai cukup keras. Eddy berseru kagum, ia bahkan bertepuk tangan sambil tertawa. Tidak memedulikan ringisan David sama sekali.
“Wow, teknik yang bagus, Sobat! Coba lakukan yang lain!”
“Baiklah, ini disebut Teknik Pengunci.” Arial menarik tangan kanan korbannya, lalu menahannya dengan kedua kaki.
“Aaw!!! Kau akan mematahkan lenganku!”
“Dan ini disebut, teknik mematahkan lengan ....” Arial melanjutkan.
“Lakukan!!!” Eddy berseru sambil mengepalkan tangan ke udara.
“Jangan lakukan! Kalian gila!”
Tentu saja itu bukan Muay Thai, bukan juga bela diri apa pun, Arial hanya senang melakukannya terutama kepada David yang kurus dan pastinya ringan. Ia sendiri mempelajari teknik-teknik tersebut dari acara gulat di televisi dan game.
“Arial, kau sempurna untuk ikut ke dalam tim Football!” puji Eddy, “bagaimana kalau kau ikut seleksi tahun depan, aku akan langsung meloloskanmu!”
Si berandal berdecih. “Tidak akan pernah!”
“Bagaimana denganku?” David menyambar dengan seringai lebar penuh harap.
“Eh ... kau bisa jadi pembersih bola atau asisten pelatih. Kceuali kalau kau bisa mengalahkanku dalam adu panco!”
Pemuda kurus itu buru-buru menggeleng dengan kedua tangan terangkat, tapi Arial sudah kepalang mengulurkan tangan kanannya tanda siap adu panco. Tidak sampai beberapa detik, sudah terdengar lagi jeritan pilu David yang kalah talak.
Amber memutar bola mata, Dasar laki-laki.
Selagi ketiga laki-laki sibuk menyakiti diri, ia dan Bell duduk bersebelahan di salah satu sudut. Hanya menonton tanpa bercakap-cakap karena canggung. Tidak seperti lelaki yang menyakiti diri masing-masing untuk berteman. Perempuan harus melakukannya dengan penuh perasaan, lebih rumit dan merepotkan. Mengingat ini adalah saat-saat terakhir mereka bersama, Amber bertekad mengakrabkan diri.