Suasana ruangan hening, bangku dan meja sudah kembali seperti semula sejak Mr. Oliver memberitahukan jam pulang sebentar lagi. Lucu, pria itu tidak mengatakannya sambil mengomel padahal kelas terlihat seperti kapal pecah. Biasanya suasana kelas riuh di jam pulang, tapi Arial, Amber, Eddy, David, dan Bell membereskan barang-barang mereka dalam diam. Amber bahkan terlihat sendu. Kalau biasanya Arial yang pertama mengatakan sesuatu, kali ini Bell yang melakukannya.
“Aku tidak pernah punya teman selama sekolah. Sekalinya punya aku mendapatkan orang-orang paling aneh di dunia.”
David tertawa sambil memanggul ranselnya. “Hey, orang paling aneh di antara kita itu kau, tahu!”
“Aku tahu ... tapi bukan itu yang penting. Aku senang karena akhirnya tahu bagaimana rasanya mempunyai teman.”
Amber menyeka mata yang berair, dan itu membuat Arial memutar bola mata.
“Kau sangat cengeng!”
“Dan kau sangat menyebalkan!” ketus gadis itu.
Tidak ada yang menanggapi setelahnya. Lima menit lagi mereka keluar dari ruangan ini. David bahkan menyadari mobil sang ibu sudah menunggu di depan sekolah. Begitu juga mobil jemputan Bell dan Amber. Tidak ada yang benar-benar punya rencana setelah kelas usai selain pulang ke rumah. Toh, mereka sudah cukup bersenang-senang hari ini.
Arial pun memecah keheningan, menatap tulus satu persatu wajah di ruangan itu. “Baru kali ini aku merasa jam berputar cepat di sekolah! Rasanya aneh mengatakan ini, tapi ... aku harap hari ini tidak pernah berakhir.”
Semua tersenyum dengan kalimat itu. Lagi-lagi si berandal mengeluarkan kalimat bagus, ataukah karena dia berandal, makanya semua kalimat serius dari mulutnya terdengar bagus.
“Menurut kalian, kita bisa berkumpul seperti ini lagi?” kini Eddy yang bicara, sambil diam-diam melirik Bell.
“Itu tergantung ... kalian bisa menemukanku di balik beton belakang sekolah, aku dan anak-anak lain suka merokok di situ,” ujar Arial.
“Jika kalian sedang ke perpustakaan di jam kosong, aku akan ada di sana,” sambung David. “Kau tahulah, itu tempat kumpul para kutu buku.”
Amber ikut semangat menanggapi. “Menemukanku mudah saja, aku ada di auditorium tari atau di ruang teater.”
“Aku suka tidur siang di pojok kantin, di sana tidak terlalu ramai dan gelap, tidak ada gangguan,” sambung Bell.
“Dan tentu saja, kalau kalian sedang ke lapangan utama di hari Kamis dan Jumat, itu jadwalku berlatih football!” Eddy menutup kalimat.
Setelah itu kelimanya termenung, wajah mereka kembali muram, sadar bahwa masing-masing tidak akan pernah pergi ke tempat-tempat tersebut. Beberapa berpendapat tempat itu payah, mungkin menyeramkan bagi yang lain, atau bisa juga karena memang tidak akan kepikiran ke sana. Ibarat ekosistem yang berbeda, jika makhluk dari satu ekosistem berusaha pergi ke ekosistem lain, itu akan menjadi bencana.
“Mungkin kita masih bisa bertemu di lorong.” Amber membesarkan hati mereka. Meskipun ia sendiri tahu kemungkinan itu sangat kecil di sekolah mereka yang begitu besar.