KALA
BAB 1
“Cinta itu sederhana, pernikahan yang membuatnya menjadi rumit”
“Kenapa sih orang harus menikah? Dan kenapa juga orang yang udah nikah harus punya anak?”
Aku bertanya dengan nada serius kepada dua sahabatku, Sigi dan Maya. Akhir-akhir ini aku merasa pertanyaan itu begitu mengusikku. Terutama semenjak ibuku semakin sering bertanya “Kapan kamu nikah?” dan saudaraku yang baru bercerai dengan alasan karena belum punya anak di usia pernikahannya yang menginjak tahun ketiga. Menurut dia, menikah itu harus punya anak. Kalau nggak punya anak apa gunanya nikah? Begitu kurang lebih katanya. Di mata dia, punya anak setelah menikah itu sebuah keharusan. Sebuah pertaruhan harga diri dan kejantanannya. Mandul itu katanya kutukan.
“Lo nanya sama gue? Kurang jelas apa? Gue nikah ya karena udah hamil duluan, Kal. Gue punya anak bukan karena harus, tapi karena udah terlanjur punya.” Sigi menjawab sambil terus mengunyah kentang goreng di hadapannya.
“Maksud gue bukan alasan lo aja, Gi. Alasan orang-orang. Mayoritas orang.”
“Ya karena itu tujuan hidupnya kali, atau karena nggak mau kesepian. Nikah karena pengin punya anak, gitu mungkin?”
“Ah, lo punya anak tapi cerai juga. Jadi buat apa nikah dong?”
“Lah, gue mah karena lakik gue brengsek, selingkuh. Nggak bisa diandelin, nggak bisa jadi suami dan bapak yang baik.”
“Tapi, lo cinta kan?”
“Ya gue akuin, gue memang pernah muda dan bodoh. Besok-besok gue kalau jatuh cinta lebih milih-milih lagi lah.”
“Emang jatuh cinta bisa milih-milih gitu ya. Bukannya hati nggak bisa ditebak mau jatuh cintanya sama siapa?” Aku nggak begitu paham tentang cinta yang memilih. Buatku jatuh cinta ya sederhana aja. Suka, tertarik, deketin. Kalau dia juga suka ya jalanin.
“Kata siapa? Cinta itu bagian dari perasaan. Perasaan itu dikendaliin otak.”
“Berarti waktu sama Marvin, otak lo lagi nggak beres?” Waktu Sigi memutuskan menjalani hubungan dengan Marvin, yang sekarang sudah jadi mantan suaminya itu, aku dan Maya sebetulnya menentangnya. Kami tahu betul, Marvin itu bukan laki-laki yang baik. Tapi apa mau dikata, cinta membutakan Sigi waktu itu.
“Iya, dan sekarang gue memilih untuk tetap waras. Kalau nggak cerai dari dia bisa gila gue.”
Aku mengambil beberapa potong kentang goreng yang dipesan Sigi. Kami tengah berkumpul di tempat favorit kami kafe Simulacrum yang juga milik suaminya Maya, Gading. Selain kafe, Simulacrum juga punya galeri seni dan art shop. Maya mengusulkan pada Gading untuk menambahkan area mini library dan bookstore yang rencananya dibuat mulai bulan depan. Asyiknya lagi, bagian belakang ada taman kecil yang asri.
Aku melirik salah satu sahabatku lagi, Maya yang dari tadi terlihat sibuk banget sama ponselnya. “Kalau lo, May? Kenapa nikah? Dan kenapa nikahnya sama Gading?”