BAB 2
Hari ini jadwalku mengajar hanya satu mata kuliah, Sejarah Seni Rupa. Aku tidak perlu lama-lama di kampus. Tapi aku harus bertemu dengan Bastian Naufal, seorang teman senimanku yang akan berpameran beberapa bulan lagi. Ia butuh bantuanku untuk mengurasi pamerannya, dan ia ingin membicarakan konsep pamerannya sore ini. Selain menjadi dosen di jurusan seni rupa, aku juga bekerja sebagai kurator independen. Jadi, aku cukup sering bekerja sama dengan banyak seniman untuk membuat pameran seni.
Kafe tempat kami janjian belum begitu ramai. Hari memang masih sore. Orang-orang masih terjebak di kantor jam segini. Tapi karena aku janjian dengan seniman, bebas saja mau ketemu jam berapa. Kulihat temanku sudah tiba duluan di sana. Rambut keritingnya diikat ke belakang seperti biasa. Aku bisa membayangkan betapa megarnya kalau rambutnya itu dibiarkan tergerai.
Bastian ini profesi utamanya sebagai seniman. Tapi dia juga punya kerjaan rutin jadi desainer grafis lepas. Dia pernah bilang begini padaku, “Manusia itu harus punya dua sayap. Satu sayap untuk kerjaan yang bisa membuat survive sebagai makhluk hidup; yang butuh makan, tempat tinggal, dan lain sebagainya. Satu sayap lagi yang bisa membuatnya menjadi ‘manusia’; menghidupi passion-nya.”
“Halo, Bas. Udah lama nunggu gue?” Sapaku sambil langsung duduk di sofa di hadapannya. Bastian hari ini cuma pakai kaos polos warna abu-abu yang sudah tampak belel. Biarpun belel, Bastian ini keren, nggak kelihatan kayak gembel.
“Nggak, kok gue baru sampe. Lo pesen minum dulu, gih.”
“Oke.” Aku langsung memanggil pelayan dan memesan lemon tea dingin. Aku sedang tidak berselera dengan kopi. Udara di luar juga sedang panas sekali. Lemon tea dingin sudah tentu pilihan paling pas.
“Jadi, gimana, Bas. Lo mau bikin apa sih buat pameran lo ini?”
“Gue pengin kolaborasiin seni rupa sama musik, Kal.”
“Musik? Buat opening pamerannya gitu?”
“Nggak cuma itu, tapi jadi bagian dari pamerannya juga.”
“Maksudnya gimana. Emang lo ngerti musik?
“Nggak juga. Makanya gue ajak Rendra ke sini.”
“Rendra? Siapa dia?”
“Nah itu dia orangnya.” Bastian melambai kepada orang yang baru masuk ke kafe. Mungkin itu yang namanya Rendra. Dia musisi? Pengamat musik? Atau apa ya? Gayanya sih mirip-mirip anak band. Jaket kulit, celana jeans, sepatu boot.
“Halo Rendra, kenalin ini Kala. Kurator pameran gue.” Bastian memperkenalkan kami berdua.
“Halo, gue Rendra.” Ia mengucapkan namanya sambil menyalami uluran tanganku dan tersenyum manis. Ia kemudian duduk di samping Bastian dan aku persis berada di depannya.
“Jadi, Kal. Rendra ini manajer band Hippocampus.”
“Keren juga nama bandnya. Itu bagian otak yang nyimpen memori, kan?”
“Iya.” Rendra menjawab sambil tersenyum lagi. Senyum yang terlalu manis. Murah senyum banget ternyata cowok ini.
“Gue pengin nanti band-nya dia itu ikutan di pameran gue. Tapi mereka nggak cuma main musik biasa gitu. Gue penginnya mereka main musik berdasarkan lukisan dan artwork gue yang lainnya. Gue juga bakal performing art juga diiringi sama mereka.”
“Hhm, jadi lo pengin orang yang dengerin mereka main musik tuh kayak juga dengerin ‘karya’ lo gitu juga, ya. Menarik konsepnya.”
“Persis!” Bastian mengangkat jempolnya.
“Jadi, rencananya band lo akan bikin lagu dari karya-karya Bastian, Ren? Mesti gue yang interpretasiin satu-satu makna karya dia, atau temen-temen band lo itu yang mau buat lirik sekalian lagunya sendiri?”
“Lo kasih gambaran besarnya aja, Kal nanti biar band gue yang nyusun lirik lagu keseluruhannya. Biar nyambung aja. Gue sama teman-teman di band kan nggak gitu paham seni rupa. Apalagi karyanya Bastian, kan absurd banget. Hehe.”
“Heh, itu absurd maksudnya muji atau ngeledek? Hvftt, lo nggak tahu sih karya-karya gue itu gue buat dari lubuk hati yang paling dalam.” ujar Bastian lebay sambil menepuk dadanya.
“Ah, tapi lo sendiri juga nggak paham, kan arti dari karya yang lo buat. Haha.” ejek Rendra lagi.
“Iya juga, sih. Makanya lah gue butuh Kala. Dia jago banget ngartiin karya gue yang kadang gue aja nggak nyangka bisa dimaknain sedalam itu sama yang ngelihat.”
“Lo udah kasih tahu artwork apa aja yang bakal dipamerin ke Rendra?” tanyaku pada Bastian.