BAB 3
“Kala, Kala!!”
“Ada apa, Bu. Kok heboh gini?” Pagi-pagi ibu sudah menggedor kamarku dengan panik.
“Bapakmu kena serangan jantung! Dia barusan meninggal.” Aku yang masih setengah mengantuk mencoba mencerna kalimat ibu.
“Bapak meninggal?” Aku tidak tahu harus bereaksi apa mendengar kabar dari ibu. Aku hanya bisa terpaku di depan pintu.
“Tadi tante Irna telepon, ngabarin kalau bapak kamu udah nggak ada.”
Tante Irna adalah istri kedua Bapakku. Yang akhirnya dinikahi bapak setelah berselingkuh terlebih dulu. Biasanya, mendengar namanya aku pasti langsung emosi. Entah, hatiku seperti terasa membeku sesaat. Bapak meninggal. Bapak. Iya, bapak yang meninggalkan ibu saat aku masih kecil. Bapak yang lebih memilih tante Irna dan tidak peduli berapa lamanya ibu terus menangis setiap harinya setelah bapak pergi.
“Ibu, mau ngelayat. Dia dikubur siang ini. Kalau kamu nggak mau ikut, nggak apa-apa. Ibu ngerti.”
“Kala ikut.”
Sepanjang perjalanan ada bayangan berkelebatan di benakku. Bayangan bapak yang menggendongku tinggi saat aku masih SD. Bapak yang mengajarkanku main catur. Bapak yang mengambilkan raporku. Bapak yang... ah, bagaimana di dalam satu orang yang begitu kubenci bisa juga kutemukan hal-hal yang begitu kurindukan.
Aku menyetir sambil meredam gemuruh di dalam dada. Menahan air mata yang mulai menggenang agar jangan sampai turun.
*
Rumah bapak sudah penuh dengan orang yang datang melayat. Kulihat tante Irna berada di sampingnya. Bapak terbujur kaku di tempat tidur yang diletakkan di ruang tamu. Kutatap wajahnya yang sudah menua itu. Ada ketenangan di sana. Kubacakan doa sebisaku, seingatku. Aku sudah tidak banyak mengingat. Dulu, bapak yang mengajarkanku mengaji. Bapak yang mengenalkanku pada kitab suci agamaku. Tapi, ia juga yang menodai kepercayaanku dengan memilih perempuan lain selain ibu.
Orang-orang hilir mudik, datang dan pergi dari rumah bapak. Mengucapkan bela sungkawa dan turut berduka cita pada kami keluarga yang ditinggalkan. Sebentar lagi bapak akan disolatkan di masjid dan dikuburkan. Perjalanan menuju tempat makam terasa begitu lambat. Ada tangis yang rasanya sudah siap pecah, tapi tetap kutahan. Tuhan, mengapa aku harus menangisi orang jahat itu?
Kupandang nisan bertuliskan nama bapak. Rudi Bagaskara. Kami sebenarnya punya nama belakang yang sama. Nama belakangku sengaja kuhapuskan karena menolak menjadi darah daging bapak. Tante Irna tiba-tiba memelukku sambil menangis. “Maafin Tante, ya Kala. Terutama, maafin juga bapakmu.”
Aku hanya refleks mengusap punggungnya. Tante Irna pasti merasa sangat kehilangan. Mungkin sama rasanya seperti yang dirasakan ibu dulu. Sama seperti aku yang merasakan kehilangan diriku sewaktu bapak pergi. Tiba-tiba ia memberikanku sebuah bungkusan. Ketika kubuka ternyata isinya boneka beruang kesayanganku sewaktu kecil. “Kala, bapakmu menyimpan ini dengan baik. Tante rasa, ini seharusnya kembali padamu.”
Boneka itu kuberikan pada bapak saat dia bilang mau pergi untuk waktu yang lama. Kuberikan padanya ntuk menemaninya supaya tidak lupa padaku.
“Ini, Teddy bawa aja, Pak. Buat nemenin Bapak.”
“Ini kan temen main Kala.”
“Bapak bilang, Kala nggak bisa ikut, jadi Teddy aja yang nemenin Bapak. Anggep aja Teddy itu gantinya Kala.”
Sekilas memori masa lalu itu menyergap tanpa aba-aba. Kupeluk erat boneka beruang itu. Tangis yang sudah kutahan sejak tadi, tiba-tiba pecah tanpa pertahanan apa-apa lagi.
*
“Bapakmu itu orang yang baik, Kala.” Tiba-tiba ibu bicara seperti itu saat kami sudah di mobil dalam perjalanan pulang.