Saturn Return

Aprillia Ramadhina
Chapter #11

(SIGI) BAB 1

SIGI

BAB 1

Pilihanku membesarkan Sagita sendirian bukan tanpa sebab. Aku punya beragam alasan yang membuatku memutuskan untuk berpisah dengan Marvin, ayah Sagita. Kami menikah di saat kami belum siap tapi harus menikah karena aku sudah hamil duluan. Kami memutuskan segera menikah saat aku baru sadar bahwa aku hamil dan usia kandunganku sudah empat minggu. Kami berdua mempersiapkan pernikahan hanya kurang dari satu bulan. Saat itu, aku yakin kalau kami berdua saling mencintai. Namun, sebenarnya itu hanya perkiraanku sepihak.

November 2015

“Semakin besar cinta lo sama seseorang, semakin besar toleransi yang akan lo kasih untuk kekurangannya. Tapi kalau lo nggak sadar dia udah nggak anggep lo, ya lo yang manipulasi diri lo sendiri.”

Manipulasi diri. Mungkin Maya benar. Aku tahu kalau keberadaanku tak pernah dianggap oleh Marvin, tapi aku menutup mata untuk hal itu.

“Kalau hidup dia ibarat buku, lo itu cuma margin, cuma spasi, Gi. Lo tuh sesuatu yang dia butuhin, tapi juga sesuatu yang selalu dia abaikan. Lo mau selamanya cuma jadi tempat dia istirahat sejenak, tempat dia ngambil jeda? Helloow, lo bukan rest area, Sigi.”

Maya mengutarakan nasihatnya yang sudah ke sekian kalinya saat aku merasa hubungan aku dan Marvin berat sebelah. Ia bahkan telah melarangku berhubungan jauh sejak tahu aku dekat dengan lelaki itu.

Maya memang sahabat yang tidak pernah berusaha berkata-kata manis untuk menenangkan sahabatnya. Tapi di saat seperti ini, aku lebih butuh orang seperti dia. Yang blak-blakan, yang jujur dan mencoba membuka mataku lebar-lebar tentang hubungan ini. Tapi, sialnya, semakin dia membicarakan kebenaran, semakin aku merasa tertantang untuk membuktikannya bahwa itu salah.

“Gue akan bertahan sampai gue nggak bisa lagi bertahan.”

“Lo bener-bener keras kepala, ye. Kenapa nggak sama Nico aja sih? Gue yakin banget kok dia naksir berat sama lo. Dan orang kaya Nico, ya, nggak bakalan bikin lo galau.”

“Gue nggak ada rasa sama Nico.” Nico ini teman sekantorku yang menaruh rasa padaku. Tapi aku tidak bisa membalasnya. Nico memang orang yang baik. Tapi, ya namanya juga nggak ada rasa, masa iya aku harus pacaran sama dia?

“Bukan nggak ada, belum ada. Gue yakin suatu saat akan ada.”

“Kok, lo yang ngotot, sih?”

“Lebih ngotot mana sama lo yang milih pertahanin orang yang jelas-jelas nggak cinta-cinta amat sama lo?”

“Ih, Maya, lo resek banget, ya.”

“Gi. Gue bisa ngomong gini karena gue kenal Marvin dan tau banget soal dia. Dia itu bad boy. Oke, gue paham lo tergila-gila sama dia. Tapi dia udah terkenal sering nyakitin perempuan. Gue cuma nggak mau lo disakitin aja sama dia. Dunia media ini sempit, Gi. Korban-korban Marvin itu banyak yang gue kenal juga.”

*

Marvin namanya. Ia seorang pewarta foto. Aku mengenalnya di pameran lukisan yang dikuratori Kala. Aku memang lumayan sering datang ke pameran di mana Kala menjadi kuratornya. Walaupun aku nggak ngerti-ngerti seni banget. Rasanya senang aja kalau bisa ikut meramaikan acara teman sendiri.

Saat itu Marvin memotretku terpaku di hadapan sebuah lukisan.

Sorry, tadi saya motret kamu untuk ilustrasi foto. Nggak apa-apa kan?” Ia menegurku sopan.

“Oh, ya that’s oke. Untuk media ya. Koran, majalah, online?”

“Majalah Pendar.”

“Oh, berarti temennya Nadia dong ya? Dia reporter di majalah itu juga. Saya sering undang dia kalau ada acara. Oh ya ini kartu nama saya.”

Kami pun saling bertukar kartu nama. Perkenalan yang sebetulnya biasa saja. Namun, lambat laun kami bertemu lagi, di luar urusan pekerjaan. Aku yang sejak awal tak bisa menutupi kekagumanku padanya. Sejak perkenalan itu, kami jadi sering bertemu setelah ia selesai liputan dan aku pulang dari kantor.

Percakapan yang tadinya lebih banyak saya dan kamu berganti menjadi aku-kamu. Kami yang tadinya berjarak berubah menjadi kami yang kian dekat. Kami sering pergi berdua. Seperti saat ini usai bekerja kami nongkrong di kafe Simulacrum sampai tengah malam. Ternyata Marvin cukup suka juga dengan kafe ini. Kafe ini memang nyaman. Ada banyak sofa. Dindingnya terbuat dari batu bata yang sengaja dibuat unfinished.

Meskipun kafe ini menu andalannya adalah kopi, tetap saja aku lebih suka memesan teh chamomile. Kami duduk di sebuah sofa di salah satu sudut ruangan. Aku paling suka duduk di sini. Karena jendela besarnya membuat aku bisa melihat jalanan yang penuh dengan kendaraan-kendaraan yang lalu lalang. Malam ini sebetulnya aku cukup lelah dan ingin lekas pulang. Tapi kalau bersama Marvin, rasanya aku rela melek sampai pagi. Aku selalu merasa ada tambahan energi ketika berada di sampingnya.

 “Aku suka caramu mengambil gambar.” Sejak tahu ia adalah fotografer di majalah Pendar. Aku jadi berlangganan. Bukan untuk membaca beritanya. Hanya untuk mengkliping foto-fotonya.

“Kenapa?”

“Hidup banget. Keren. Foto-foto kamu selalu bercerita banyak.”

“Memang seharusnya begitu. Foto jurnalistik itu nggak sekadar soal dokumentasi gambar, tapi biar gimanapun harus bisa menampung banyak kata. Bahkan melebihi kata yang ada di beritanya.”

“Motret apa yang paling susah?”

“Hhm, manusia.”

“Kok? Kupikir, yang susah itu motret demo, motret kebakaran, tawuran.”

Lihat selengkapnya