BAB 2
Hari ini ulang tahun Marvin. Aku sudah membeli kue dan menyiapkan hadiah khusus. Aku membeli beberapa buku fotografi yang belum dia punya. Yang pastinya bisa jadi referensi dia untuk membuat karya yang lebih bagus lagi.
Aku mereservasi sebuah rooftop restaurant di atas sebuah hotel di Jakarta Pusat. Sejak dulu aku selalu penasaran seperti apa rasanya makan di atap gedung. Awalnya Marvin malas kuajak bertemu di sini. Karena menurutnya ulang tahunnya tidak perlu dirayakan. Tapi karena aku memaksa, mau tidak mau ia nurut juga. Jarang sekali aku berhasil bisa memaksanya.
Marvin tampak malu ketika kupaksa meniup lilin di kue ulang tahun. “Kayak anak TK aja pakai tiup lilin segala,” katanya. Lilinnya kupilih angka 17, walaupun umur aslinya dia sebenarnya di atasku 5 tahun, yaitu 33 tahun. Tapi aku ingin ia selalu merasa muda. Aku pun memberikan kado yang sudah kusiapkan. “Terima kasih, ya.” katanya.
“Eh, ini nggak gratis, lho. Kamu boleh ambil hadiahnya, kalau kamu nurutin permintaan aku.”
“Kok jadi kamu yang minta permintaan, sih? Kan aku yang ulang tahun?”
“Yaudah nggak jadi kasih kado,” Aku berpura-pura mengambil kembali hadiah yang tadi kuberikan.
“Oke, oke. Apa? Emang kamu mau apa?”
“Kiss me.”
“Di sini? Sekarang? Di tempat umum begini?”
Aku mengangguk. Tanpa aba-aba dia langsung mencium bibirku lembut. Aku yakin wajahku pasti langsung memerah. Kakiku rasanya seperti tidak menapak. Marvin, dengan segala kejutan dan spontanitasnya selalu berhasil membuatku jatuh cinta berkali-berkali. Ciumannya meskipun singkat, membuatku merasa diinginkan.
Setelah menghabiskan makanan yang kami pesan. Aku bersandar di lengannya. Malam ini tidak terlalu banyak bintang. Hanya ada satu-dua saja yang bersinar lumayan terang. Marvin membelai rambutku lembut. Andai saja momen seperti ini lebih sering terjadi dibanding pertengkaran-pertengkaran kami yang menghabiskan energi.
Tapi ternyata kesenangan ini tidak berlangsung lama. Di hari bahagia ini, ia masih saja sempat-sempatnya menyebut nama Valerie.
“Aku harus ketemu Valerie lagi. Foto-fotoku dibantai abis sama dia. Dia minta aku hunting foto-foto baru. Banyak fotoku yang masih kurang kuat menurut dia.” Marvin mengangkat lengannya yang dari tadi merangkulku.
“Kamu nurut banget kayaknya sama dia, ya.” Rasa menyenangkan tadi tiba-tiba luruh berganti rasa sebal karena mendengar nama Valerie.
“Yaiyalah, Valerie Rinjani itu kurator ngetop. Dia paham banget soal foto.”
“Ya, keren banget ya dia. Aku mah nggak ada apa-apanya dibanding dia.”
“Lho, kok jadi ke kamu sih? Nggak ada hubungannya, kan?” Marvin tampak hendak bangkit dari tempat duduknya. Dia mau pergi sekarang juga? Malam-malam begini? Tak bisakah ia tinggal bersamaku lebih lama lagi.
“Yaudah aku minta nomornya Valerie dong.”
“Buat apa?”
“Ya aku kan humas pamerannya aku harus tahu dan ngobrol juga dong sama kuratornya.”