BAB 3
April 2016
Pameran Marvin ramai diliput banyak wartawan. Sebagian besar memang wartawan yang punya hubungan baik denganku. Buku-bukunya juga banyak dibeli penggemar fotografi. Selain media, aku juga mengundang teman-teman dari berbagai komunitas fotografi.
Tiba-tiba aku mendengar seorang fotografer sedang bercakap-cakap dengan teman lainnya. “Marvin beruntung banget ya bisa dapetin Valerie. Enak banget dia, banyak dibantu jadinya. Coba aja bayangin kalau bayar Valerie jadi kurator, pasti mahal. Marvin bisa aja deketinnya.”
“Semua cewek juga bisa takluk sama Marvin.”
“Tapi gue sih tadinya nggak yakin Valerie mau. Standar Valerie kan tinggi banget.”
“Yah, rayuannya maut kali si Marvin.”
Ada yang tiba-tiba sakit di dadaku tidak sengaja mendengar hal itu. Selama pembukaan pameran berlangsung. Marvin tidak banyak bicara denganku. Ia sibuk meladeni wartawan yang mewawancarainya dan komunitas yang ingin ngobrol dengannya. Selebihnya, ia tampak tidak lepas dari Valerie.
Aku mencoba mengalihkan pandanganku dari mereka dan memilih mengelilingi galeri. Aku baru sadar kalau aku bahkan belum melihat semua foto yang Marvin pamerkan. Ternyata di sudut ruangan aku menemukan fotoku menatap matahari terbit di Gunung Pancar. “Waiting” judul foto itu.
Tak jauh dari tempatku berdiri, aku melihat Marvin yang begitu akrab dengan Valerie. Ia bahkan tidak ragu-ragu merangkul perempuan itu saat sedang berbicara dengan rekan-rekannya yang lain. Aku menatap foto diriku, berharap bisa kembali ke momen itu. Momen di mana aku merasa menjadi orang yang penting untuknya.