BAB 5
Marvin semakin murung dari hari ke hari. Aku dengar media tempatnya bekerja sudah hampir bangkrut. Ia diminta segera untuk mencari tempat kerja yang lain. Aku mencoba mengerti. Namun, pengertianku berhenti saat ia mulai membagi hati. Aku curiga kenapa ia semakin jarang pulang dan seperti menyembunyikan banyak hal sendiri. Untuk mencari informasi kemana dia pergi kalau tidak pulang ke rumah, aku sampai membuka email-nya. Marvin pernah memintaku membuatkannya email baru karena email lamanya sudah tidak bisa ia buka. Saat itu dia terlalu malas untuk membuat sendiri. Jadi, otomatis aku tahu password-nya.
Aku melacak pesan-pesan di email-nya. Ternyata ia beberapa waktu belakangan, ia sering menggunakan aplikasi booking hotel untuk menginap. Aku tak tahu untuk urusan apa dan dengan siapa. Ia tidak pernah bercerita.
Sampai Kala dan Maya mengajak ketemuan di tempat biasa. Dari wajah mereka aku tahu mereka ingin menyampaikan kabar buruk padaku.
“Gi. Gue nggak bermaksud ikut campur soal lo sama Marvin. Tapi, gue rasa lo harus tahu soal dia.”
Maya menyodorkan ponselnya. Terpampang foto Marvin sedang berada di lobby hotel bersama seorang perempuan, yang aku kenal betul itu Valerie.
“Gue nggak sengaja ngelihat mereka waktu abis nginep sama Gading.”
“Itu lagi mau pemotretan kali, May.” Aku masih saja berusaha berpikir positif walau aku tahu hatiku tidak karuan.
“Motret apa? Motret Valerie? Di kamar hotel, gitu?” Kala memutar bola matanya.
“Mereka cuma ketemuan aja kali. Berduaan di hotel nggak selalu untuk nginep bareng, kan?”
Wajah kedua sahabatku tampak begitu datar mendengar ucapanku yang terlalu naif. Aku mencoba menenangkan perasaanku sendiri dengan mencoba berpikir kemungkinan-kemungkinan bahwa mereka berdua tidak berhubungan sejauh itu. Kalau memang mereka berselingkuh, sungguh ini di luar prediksiku. Apakah pernikahan tidak berarti apa-apa bagi Marvin?
Kala memegang tanganku. “Gi. Marvin sama Valerie itu sampe sekarang masih deket. Gue nggak tahu hubungan pastinya mereka gimana. Tapi rumor itu udah rame banget beredar.”
Aku mencoba menengadah menahan air mata agar jangan sampai jatuh.
“Gue saranin, lo ngomongin apa yang lo rasain ke Marvin, ya Gi. Jangan nyiksa diri lo sendiri.” Kala benar. Aku harus bicarakan semuanya. Lelah aku menyimpan semua kecurigaan ini sekian lama.
*
Aku pulang ke rumah cukup malam karena aku butuh waktu lebih lama ditemani Kala dan Maya. Aku tahu, aku harus menanyakan langsung pada Marvin soal semua ini. Tak lama terdengar suara motor Marvin di halaman. Tidak ada ritual kecup kening setiap dia pulang kerja seperti yang dilakukan suami ke istri pada umumnya. Ia tampak berkutat dengan ponselnya sebelum mengambil handuk dan bergegas mandi.
Aku langsung menyambar ponselnya dan melacak apa yang harus aku temukan. Aku tak ingin menuduh Marvin tanpa bukti yang kutemukan sendiri. Sialnya, aku sungguh meremehkan bahwa rasa ingin tahu itu bisa membunuh. Kudapati foto-foto mesra Marvin dan Valerie. Ditambah kemesraan-kemesraan mereka di whatsapp. Kemesraan yang sudah sangat kelewatan.
Aku menyeka air mataku dan Marvin tampak kaget melihat aku memegang handphone-nya.
“Vin, aku udah tahu soal kamu sama Valerie.” Aku tak bisa menyembunyikan getaran dalam suaraku.
Marvin menatapku dengan pandangan yang sulit kuartikan. Lebih persis seperti orang yang habis ketahuan maling.
“Sebenernya aku udah tahu dari sebelum kita nikah. Tapi, aku pikir semuanya akan selesai setelah kamu nikah, ditambah sebentar lagi kita akan punya anak.”
“Sigi, aku…”