Saturn Return

Aprillia Ramadhina
Chapter #17

(SIGI) BAB 7

BAB 7

Gita demam sudah tiga hari naik-turun. Aku segera membawanya ke dokter. Dokter hanya memberikan obat penurun panas, katanya tunggu sampai besok kalau tidak ada gejala reda demamnya, Gita harus periksa darah. Setelah minum obat, demamnya ternyata juga tidak ada tanda-tanda sembuh. Aku bergegas membawanya ke rumah sakit lagi.

“Kamu mau kemana sama Gita, Gi?” Marvin tiba-tiba sudah ada di depan rumahku.

“Ke rumah sakit.” Tanpa banyak bertanya Marvin langsung mengantarkanku dan Sagita menuju rumah sakit.

Akhirnya Gita langsung tes darah dan aku membawanya ke dokter anaknya.

Dokter anakku sedikit kaget melihat Marvin, “Ini papanya Gita ya, wah baru kelihatan. Sibuk banget, ya baru kali ini bisa nemenin anaknya ke dokter. Tapi emang bagusnya, gitu, Bu Sigi. Jadi, bapak-bapak harus tahu anaknya sakit apa, ngobatinnya gimana. Jangan sampe apa-apa yang serba tahu itu ibunya. Gimana coba kalau ibunya juga sakit pas anaknya sakit, repot, kan pasti.”

Aku tersenyum mendengar ocehan bu dokter sementara Marvin tampak tersenyum malu dan kikuk. Setelah hasil tes darah keluar, ternyata Sagita terkena infeksi salurah kemih. Pantas setiap pipis ia terlihat menjerit kesakitan. Ia pun diresepkan antibiotik.

“Selama ini kamu kalau ke dokter sendirian?” tanya Marvin saat kami sedang menunggu obat di apotek rumah sakit.

“Iya.”

“Kalau Sagita sakit, kamu kerja, yang ngurus Gita siapa?”

“Kadang ada mama juga nginep di tempatku. Oh ya, Kamu gimana, Vin? Aku dengar kantor kamu bener-bener tutup, ya?” sebenarnya aku mau menanyakan ini kemarin. Tapi rasa ingin tahuku ternyata lebih besar soal Valerie dibanding pekerjaan Marvin.

“Iya, tapi abis itu aku langsung dapet kerjaan baru, Gi. Tetap jadi fotografer, tapi lebih untuk iklan. Pada akhirnya harus ada idealismeku yang mengalah. Posisiku lumayan, gajiku juga. Hidupku jadi lebih baik. Tapi, aku ngerasa hampa, nggak ada kamu, nggak ada Gita. Aku sepi banget nikmatin hidup sendirian. Dan aku baru sadar, selama ini, yang ada saat-saat terpuruknya aku ya kamu. Saat-saat aku jatuh dan nggak berdaya, juga cuma kamu yang setia nemenin. Saat hidup aku mulai membaik, aku ngerasa semua jadi nggak ada artinya.”

“Udahlah, Vin, nggak usah disesali ya.” Aku benar-benar mengatakan ini dari hati. Ya, buat apa dia sesali sekarang. Tidak akan mengubah apa-apa juga. Tak lama namaku dipanggil untuk mengambil obat Gita. Setelah apotekernya menjelaskan dosis pemberian obat, aku dan Marvin langsung segera pulang.

“Mbak Sigi, maaf hari ini saya nggak bisa kerja, suami saya sakit, saya harus ngurusin. Besok mudah-mudahan saya udah bisa masuk lagi, bu.” Pengasuh Sagita tiba-tiba mengirim pesan Whatsapp meminta izin nggak masuk hari ini. Untung hari ini aku memang sedang cuti, jadi aku bisa merawat Gita. Biasanya kalau pengasuh Gita nggak datang, supaya aku tetap bisa masuk kerja, aku akan titip Gita ke rumah mama atau ke daycare.

Sesampainya di apartemen Marvin malah sibuk mengajak main Sagita dan tidak tampak hendak beranjak pulang. “Kamu nggak kerja, Vin?”

“Nggak. Tadinya aku ke sini mau jemput kamu kerja, berangkat bareng. Tapi barusan aku tadi minta izin ke bosku untuk nggak masuk hari ini. Aku mau ngerawat Gita. Boleh, kan? Kamu pasti capek banget kalau rawat dia sendirian. Kamu sendiri?”

“Aku cuti hari ini. Kamu nggak perlu repot-repot. Ada aku. Kalau kerepotan aku juga bisa ke tempat mama.” untuk apa juga dia bersikeras tetap di sini.

“Sekali ini aja aku mau bantu kamu. Boleh, ya?

“Terserah kamu, Vin.” Bukan Marvin namanya kalau tidak memaksa. Tapi berada di satu ruangan begini sama kamu bikin aku nggak tahu mesti gimana. Aku segera masuk ke kamar dan beristirahat, entah mengapa rasanya aku ingin terlelap.

*

Saat terbangun, ternyata sudah jam 4 sore. Aku tidur lama juga ternyata. Marvin ada di sampingku. Dia tidur terduduk, tampaknya ia lelah mengurus Gita. Aku melihat Gita juga sedang terlelap. Saat hendak bangun, aku merasa kepalaku sakit sekali. Ternyata badanku juga demam. Marvin terbangun mendengar aku meringis.

“Kamu kenapa, Gi? Sakit?” Marvin memegang keningku. “Kamu demam juga? Mau ke dokter?”

Lihat selengkapnya