BAB 8
Hari ini aku tugas ke Semarang. Ada event yang harus kantorku urus untuk klien kami di sini. Acaranya hanya 3 hari. Bosku membolehkan aku berangkat lebih dulu jika ingin jalan-jalan. Sekalian juga untuk lihat-lihat tempat dan berurusan dengan penyelanggara acaranya. Aku menginap di daerah kota lama Semarang. Sebelum membuat janji aku ingin jalan-jalan dulu di sini. Aku membuka laptopku dan mencari-cari apa yang sekiranya menarik di Semarang. karena tak menemukan yang kucari, aku memilih bersantai saja dulu sambil membuka-buka ponselku.
“Kabari kalau udah sampai di Semarang, ya Gi.”
Itu pesan terakhir dari Marvin di whatsapp yang belum kubalas sampai sekarang. Ia tahu aku tugas ke luar kota karena ia memaksa untuk merayakan ulang tahun pernikahan kami, dan aku mengatakan padanya bahwa hari tersebut aku tidak berada di Jakarta. Aneh sekali, kami sudah berpisah. Tak ada gunanya sama sekali merayakan hari pernikahan bersama mantan suami. Marvin betul-betul ingin kami kembali seperti sedia kala. Aku merasakan ia memang sudah banyak berubah.
Aku memilih mengabaikan pesan whatsapp-nya dan membuka feed instagram. Aku melihat postingan salah satu temanku di sebuah benteng yang tampak menarik. Letaknya di Ambarawa. Aku langsung menghampiri laptopku dan mencari benteng yang ada di foto itu. Benteng Fort Willem 1, Ambarawa. Letaknya tidak terlalu jauh dari Semarang. Tempatnya sepertinya bagus. Ada sawah-sawahnya juga. Mungkin aku bisa sedikit menenangkan diriku di sana. Baiklah aku memutuskan untuk ke sana.
Setelah naik Trans Jateng dari stasiun tawang dan lanjut bus kecil. Aku sampai juga di Ambarawa. Nyaris tidak ada orang di benteng ini. Aku berdiri termangu di depan benteng tepatnya di salah satu sel tahanannya. Aku memotretnya dan tiba-tiba merasa merinding sendiri, membayangkan seperti apa orang yang pernah ditahan di dalamnya.
Tiba-tiba seorang di sampingku bergumam “Ngeri, ya.” Aku tidak sadar kapan orang ini berdiri di sampingku. Dia bukan hantu benteng, kan? Sepertinya ia juga merasakan apa yang juga kurasakan di sini. Ia membawa ransel yang cukup besar. Rambutnya yang gondrong sedikit bergerak tertiup angin. Ia memakai topi dan kacamata hitam khas wisatawan. Kemejanya dibiarkan terbuka di luar kaos oblongnya.
“Ini benteng dari zaman Belanda, ya?” ujarku. Hanya sedikit menoleh padanya.
“Paska G30 S PKI juga dipakai untuk penjara mereka yang dituduh PKI. Sekarang kita nikmatinnya bagian dari wisata. Begitulah sejarah. Kita bisa lebih tenang mandang masa lalu ya, karena kita ada di masa sekarang.” balasnya. Pandangan kami bertemu dan aku langsung mengalihkan tatapan ke sel tahanan di hadapanku. Matanya sekilas mirip mata Marvin. Tajam dan penuh selidik. Bikin orang yang beradu pandang merasa tidak nyaman.
“Ya, karena masa lalu ada memang untuk dikenang aja, kan.” Lanjutku sambil terus memerhatikan penjara di depan mata, bukan orang asing yang menarik di sebelahku ini.
“Masa lalu tuh dibiarkan aja ada. Jadi penanda, kalau ternyata sejarah kita pernah sekelam itu. Sesekali dikenang boleh. Tapi, nggak mungkin untuk kita jalani lagi. Pikir 1000 kali deh kalau mau balik ke masa lalu. Memangnya kita mau balik ke jaman penjajahan?”