MAYA
BAB 1
Aku paling malas menghadiri pertemuan keluarga besar, terutama saat lebaran seperti ini. Bukan, bukan karena aku tidak mau menjalin silaturahmi. Aku benci dengan pertanyaan seputar kapan mau punya anak, kenapa belum hamil, dan saran-saran bagaimana supaya segera punya anak. Kenapa mereka usil sekali soal selangkangan orang lain? Tapi, pertanyaan itu kuanggap angin lalu, kecuali jika yang bertanya adalah ibunya Gading, - mertuaku.
“Kamu udah setahun, kan ya nikah sama Gading, May?”
“Iya, Bu.”
“Ibu udah pengin banget punya cucu dari kamu sama Gading. Kalian mau sampai kapan nunda punya anak?” Ibu mertuaku lagi-lagi menanyakan hal yang sudah berkali-kali ia tanyakan. Ia selalu saja menanyakan ini jika kami sedang berdua. Saudara-saudara Gading sudah pulang ke rumahnya masing-masing. Rumah yang tadinya ramai oleh para paman, tante dan sepupunya kini sudah sepi kembali. Gading sedang pergi sebentar ke mini market dekat rumah. Aku tak tahu, apa ia juga sama seringnya bertanya kepada Gading soal anak.
“Doain, aja, Bu.” Aku tak bisa beberkan alasan yang sebenarnya. Apa tanggapan ibu jika aku bilang bahwa aku dan Gading sepakat untuk memilih tidak ingin punya anak. Aku minum pil KB setiap hari. Jika tidak minum, aku selalu meminta Gading memakai pengaman saat kami berhubungan intim. Bagi kami, bahagia berdua saja sudah lebih dari cukup.
“Doa aja, nggak cukup kalau kalian berdua nggak ikhtiar, Maya.” Duh, ikhtiar yang dimaksud ini hubungan seks, kan? Kami sangat normal sekali, seminggu paling tidak tiga kali. Kalau sedang malas dan lelah minimal seminggu sekali. Tapi, sekali lagi, tujuan kami berhubungan seks tentunya bukan karena kami ingin punya anak. Kami melakukannya karena memang ingin melakukannya, untuk kesenangan dan kesehatan. Tidak untuk punya anak. Apa aku harus bilang pada ibu bahwa aku tidak ingin punya anak, karena anak adalah beban? Anak hanya pemberat langkah ibunya. Dan aku, sungguh tak ingin dibebani tanggung jawab seberat itu.
Aku masih mencoba tersenyum karena tidak tahu harus berkata apa lagi yang pantas untuk didengar Ibu. Hingga ia bilang