Saturn Return

Aprillia Ramadhina
Chapter #20

(MAYA) BAB 2

BAB 2

Sudah dua minggu aku merasa badanku tidak enak. Rasanya persis seperti masuk angin. Mual, dan kembung. Aku juga sering sempoyongan ketika sedang berdiri. Ditambah berkeringat dingin, terkadang disertai sakit kepala. Aneh sekali, biasanya masuk angin tidak sampai tiga hari pasti badan sudah enakan hanya dengan minum air hangat, makan dan istirahat teratur. Atau aku sakit karena akan menstruasi? Biasanya memang aku sering jatuh sakit di hari pertama menstruasi.

Sudah seminggu sakitku belum benar-benar sembuh juga. Tapi aku merasa tidak seperti orang yang sedang sakit. Hanya saja, badanku sering tidak enak. Kemudian membaik sesaat. Selebihnya aku jadi sering mengantuk. Aku pun tidak juga datang bulan. Jangan-jangan… ah, aku tidak mau berandai-andai.

“Kamu yakin nggak mau ke dokter? Kamu juga udah telat mens dua minggu kan? Apa nggak sebaiknya kamu periksa aja pakai testpack atau kita ke dokter? Biar ketahuan kamu sakit apa atau kamu memang hamil?” Gading menyarankan.

“Ya, mungkin sebaiknya begitu.” Gading langsung bergegas ke apotek dan memberikan testpack itu padaku. Aku tak perlu menunggu sampai besok pagi untuk memeriksa. Badanku sudah semakin tidak enak dan aku butuh sebab yang pasti. Positif atau negatif aku tetap harus ke dokter.

Aku menunggu sejenak untuk memastikan hasil testpack di kamar mandi. Samar kulihat dua garis merah yang semakin terlihat nyata. Dua garis? Aku hamil?

Dua garis itu nyata. Kucoba hingga 5 testpack berbagai merk dan hasilnya sama saja. Aku menangis tanpa suara. Dadaku bergemuruh. Aku belum menginginkan ini semua.

Apa aku layak dan pantas menjadi ibu?

*

Aku keluar kamar mandi dengan lesu dan menunjukkan hasil testpack itu kepada Gading. Aku sebetulnya sudah punya firasat. Tapi mengetahui kenyataannya secara langsung, ada sesak yang tiba-tiba menyeruak dalam dada. “Gading, aku hamil.” ujarku yang penuh nada datar menyembunyikan kesedihan.

“Syukurlah. Sebentar lagi kita akan punya anak!” Gading segera berhambur memelukku. Erat sekali. Dia, ternyata sesenang ini?

“Aku harus kasih tahu ibu!” Gading segera mengambil ponsel dan menelepon ibunya untuk memberitakan kabar gembira ini. Aku masih terbengong-bengong. Bukankah Gading tahu kalau aku sebetulnya tidak ingin punya anak? Aku merasa masih ingin menikmati hidup berdua dengannya. Aku belum siap untuk hidup bertiga. Aku tidak siap punya anak!

“Kita segera ke dokter hari ini, ya.” ajak Gading.

Aku yang masih belum sadar sepenuhnya hanya mampu mengangguk.

Setelah Gading menelepon rumah sakit dan menanyakan apakah ada dokter kandungan yang praktek di hari Sabtu ini, Gading segera bergegas ganti baju dan menyuruhku juga untuk berkemas.

“Ayo, kita harus segera sampai di sana. Sekarang sudah jam 4. Dokternya praktek jam 6 tapi kita harus daftar dulu supaya tidak terlalu lama menunggu.”

“Ah, iya. Aku mau mandi dulu sebentar.”

Aku berjalan gontai menuju kamar mandi. Kunyalakan pancuran dengan malas. Jadi ini alasan mengapa badanku tidak enak rasanya. Rupanya aku hamil. Ah, tidak. Belum tentu. Testpack itu bisa saja salah. Tapi bagaimana jika dokter yang memeriksaku juga mengatakan bahwa aku benar-benar hamil? Aku belum tahu reaksi apa yang akan kuberikan.

*

Setelah mendaftar di bagian registrasi, aku dan Gading segera menuju lantai dua rumah sakit ini tempat dokter kandungan praktik. Dr. Hani namanya. Kami mendapat nomor urut tujuh. Lantai dua ini adalah tempat prakteknya dokter kandungan dan dokter anak.

Aku melihat banyak ibu hamil dan anak-anak kecil di ruangan ini. Ada ibu yang sedang hamil besar, suaminya tampak sedang menggendong bayi yang kuperkirakan usianya sekitar satu tahun lebih. Di sampingnya ada anak yang sedang merajuk sekitar umur tiga tahun. Oh, Tuhan. Aku tak ingin kelak menjadi seperti perempuan itu. Repot sekali pastinya hidup dengan dua anak yang masih begitu kecil ditambah hamil lagi.

Di sekitarku banyak balita yang berlari-larian dengan lincah. Mereka mungkin hanya ikut mengantar adik atau kakaknya yang sakit. Atau ikut ibunya memeriksa kandungan. Mereka yang berlarian seperti tidak tahu aturan. Berteriak keras seperti tidak ada orang yang mendengar. Melihat pemandangan seperti ini tiba-tiba membuatku benar-benar tidak siap menjadi seorang ibu.

Tidak lama kudengar namaku dipanggil. Di dalam ruangan dokter memeriksa kandunganku dengan USG dua dimensi. Aku tidak melihat apapun selain gumpalan bundar. Dokter mengatakan kandunganku sudah berusia sekitar lima minggu. Ia juga menanyakan kapan terakhir kali aku haid yang kujawab kurang lebih awal bulan kemarin.

“Ibu bekerja?”

“Ah, iya. Memang kenapa, dok?”

Lihat selengkapnya