BAB 5
Kesehatanku sudah benar-benar pulih dan kandunganku tidak bermasalah. Aku sudah kembali bekerja dan beraktivitas seperti biasa. Sebentar lagi media tempatku bekerja akan berulang tahun. Kali ini kami mengangkat tema tentang “Miracle”, keajaiban. Di setiap rubrik dikaitkan dengan keajaiban. Aku sendiri mungkin termasuk orang yang tidak terlalu percaya keajaiban. Absurd dan terlalu abstrak.
Kali ini aku mendapatkan penugasan untuk mewawancarai seorang travel blogger yang juga menjadi tarot reader. Bimo Raya namanya. Kemana-mana ia membawa kartu tarotnya. Ia juga sering meramal orang-orang yang ia temui selama perjalanan. Dalam hampir setiap tulisannya, ia selalu menyelipkan bahwa perjalanan yang dilaluinya dan orang-orang yang ditemuinya adalah bagian dari kerja semesta yang secara ajaib membuat takdir orang-orang saling bersinggungan.
Kami janjian di sebuah kafe di bilangan Jakarta Selatan. Aku melambaikan tangan ke arahnya, “Hai, Bim.”
Ia tersenyum lebar dan langsung menghampiriku. Selama ini aku hanya tahu tentangnya dari tulisan-tulisan perjalanannya. Aku dan dia cukup lama kenal dan saling sapa serta berkomentar di dunia maya. Hanya baru kali ini kami bertemu secara nyata.
“Udah pesen minum?”
“Oh, udah, kok. Tenang aja. Lo pesen dulu, gih.”
“Oke, jadi baru balik dari mana lo?”
“Gue udah dua minggu ini nggak pergi-pergi jauh. Gue jalan-jalan kelilingin Jakarta aja.”
“Kok? Kenapa?”
“Gue lagi mencoba meresapi yang benar-benar ada di dekat gue. Jadi gimana, gimana. Lo butuh apa?”
“Gue lagi ditugasin nih, bikin tulisan tentang keajaiban. Menurut lo, ada nggak sih kaitan keajaiban dengan perjalanan yang lo lakuin?”
“Gue sering banget nulis di blog gue tentang wishlist gue. Tentang harapan gue pengin banget ngunjungin sebuah tempat. Dan entah gimana ada aja caranya gue untuk menuju ke sana. Semesta kayak berkonspirasi mewujudkan impian gue ketika gue tuliskan destinasi-destinasi yang mau kunjungi itu.”
“Masih cukup abstrak buat gue.”
“Gini, deh. Gue juga pernah ngelakuin spiritual journey. Waktu itu pacar gue habis meninggal. Itu masa di mana susah banget buat gue untuk recovery hati gue. Ada perasaan buat apa gue hidup lagi. Tapi, setelah gue melakukan banyak perjalanan. Gue temuin kedamaian. Bahwa dengan terus bersedih dan meratapi kepergian dia, itu useless. Justru dengan gue tetap bahagia itu berarti gue akan terus hidup dan menjaga memori tentang momen-momen berharga yang pernah gue dan dia jalanin. Itu cara gue mencintai keberadaan dia yang udah nggak ada.”