Saturn Return

Aprillia Ramadhina
Chapter #24

(MAYA) BAB 6

BAB 6

Aku memilih mengambil cuti lebih dulu karena untuk jaga-jaga kapan saja bayi ini bisa lahir. Lagi-lagi Gading meminta ibunya untuk menemaniku di rumah selama aku cuti dengan harapan dia yang akan membantuku mengurus anak yang baru lahir nanti. Kemarin aku dijadwalkan untuk operasi sc karena berat bayiku yang lumayan besar, yakni 3,8 kilo. Walau kata dokter, berat sebenarnya bisa kurang dari itu. Aku tampaknya tidak sanggup harus melahirkannya secara spontan, ditambah hingga minggu ke-40 tidak ada tanda-tanda kontraksi yang kurasakan.

Hari ini adalah jadwalku untuk operasi. Aku dan Gading tidak bisa tidur semalaman. Aku deg-degan luar biasa. Seumur hidup aku belum pernah dioperasi. Aku dijadwalkan operasi pukul 5 sore. Tapi aku harus sampai di rumah sakit dari pukul 7 pagi untuk persiapan dan lain sebagainya. Yang paling susah ditahan adalah saat aku harus puasa selama 6 jam. Aku sampai merasa haus luar biasa. Ternyata dokternya datang lebih dulu dan jam operasiku dimajukan menjadi jam 4 sore.

Aku pasrah. Sepanjang menunggu sampai masuk ruang operasi aku tak berhenti berdoa dalam hati. Aku mengucapkan segala hal yang bisa menguatkan dan menenangkanku. Gading tidak boleh masuk ruang operasi. Senyum dokter Hani meyakinkanku bahwa aku memercayakan semuanya padanya dan pada Tuhan.

Tepat pukul 5 sore anakku lahir, tangisannnya kencang, dan aku merasakan ia ditaruh di dadaku. Momen haru yang tak bisa kuungkapkan. Ingin rasanya aku menangis kencang juga, hanya saja dadaku mulai sedikit terasa sesak. Saat itu, aku merasakan keajaiban Tuhan yang luar biasa. Aku, Maya Astari, telah resmi menjadi seorang ibu.

*

Pagi ini aku sudah harus belajar duduk, setelah kemarin malam belajar memiringkan badan. Aku tak menyangka ternyata setelah operasi hal-hal yang sebelumnya mudah sekali dilakukan menjadi begitu sulit. Ada Kala dan Sigi yang menjenguk hari ini. Tak lama bayiku diantar ke kamarku untuk disusui. Perawat mengajariku cara menyusui yang benar. Anakku mungil sekali, ia belum mahir menyusui dan masih saja sering tertidur.

“Ih, gemes banget sih, anaklo, siapa namanya May?” Sigi berusaha menahan diri untuk tidak menyentuh. Ia pasti tahu betul, bayi baru lahir masih rentan dan sebaiknya tidak dipegang-pegang oleh orang dewasa dulu.

“Sheira Gayatri”

“Keren namanya.” sahut Kala. “Pasti dia nanti gedenya juga keren kayak ibunya.”

“Gading kemana?” aku baru sadar tidak mendapati suamiku di ruangan. Tampaknya semalam benar-benar membuatku lelah sampai tidak sadar Gading pergi kemana.

“Tadi sih gue sama Sigi sempet ketemu, dia bilang mau jemput...”

Tiba-tiba pintu kamarku dibuka dan tampaklah Gading bersama ibu mertuaku dan tante-tanteku. Melihat Gading membawa rombongan ibu-ibu rempong, Kala dan Sigi memilih pamit. Mungkin mereka juga nggak ingin ruangan ini jadi terlalu berisik, sumpek dan banyak orang sehingga aku dan Sheira menjadi tidak nyaman.

“Wah, cucuku cantik sekali.” Ibu mertuaku menggendong Sheira dengan wajah berbinar.

“Kenapa caesar, May?” tanya tante Mira. Dia adik pertama ibu mertuaku.

“Beratnya gede, Tante. 3, 7 kilo.”

“Ah, cuma segitu mah nggak gede, dulu Ibu lahirin Gading, 4 kilo normal!”

“Iya, anak sekarang mah lahiran pasti sesar, Mir. Aku juga dulu lahirin Anita normal biarpun kelilit tali puser dan sungsang. Cuma di bidan lagi.” ujar tanteku yang satu lagi, tante Nola namanya.

“Iya, anak sekarang nggak pengin sakit ngeden-ngeden, dijahit. Maunya yang praktis-praktis aja.” timpal ibu mertuaku.

Whatever. Aku lagi nggak ingin mendengar kehebatan mereka yang tidak penting sama sekali bagiku. Memangnya kenapa kalau melahirkan dengan cara caesar? Ini badanku, dan itu anakku. Kenapa orang harus repot-repot mempermasalahkan caraku melahirkan?

*

Tidak ada lagi Maya Astari ketika aku melahirkan putriku. Identitasku melebur bersama nama anakku. Kini sebagian besar orang memanggilku Mama Sheira. Itulah aku yang sekarang. Terlahir kembali menjadi seorang ibu. Ibu baru.

Sudah sebulan usia Sheira. Dan pada saat ini aku baru bisa bermain dengan gadgetku. Kemarin-kemarin aku mematikan ponselku karena tak ingin diganggu. Kini aku ingin menunjukkan kepada dunia. Aku masih ada. Aku masih eksis.

Yang pertama kuunggah ke semua kanal media sosialku tentu saja foto Sheira. Lengkap beserta tanggal lahir, berat dan panjang badannya, serta waktu persis kelahirannya. Ucapan selamat mengalir deras. Banyak yang hendak berkunjung melihat langsung kegemasan Sheira.

Sejak itu aku tak lagi sering mengunggah foto selfie. Bukan karena aku tak suka berfoto lagi. Tapi bentukku sudah acap tak karuan semenjak menjadi ibu. Rambut yang awut-awutan. Baju yang kusut. Wajah yang kusam disertai mata panda akibat kurang tidur. Apa yang bisa kubanggakan dengan penampilan seperti itu? Biarlah anakku yang tampil kece di sana.

“Kamu nggak capek apa fotoin Sheira terus-terusan?”

“Nggaklah dia lucu banget kok kalau nggak lagi nangis gini. Jadi wajib difoto.” ujarku masih memotret Sheira dengan kamera handphone dari berbagai angel.

“Mukanya kan gitu-gitu aja. Nggak mesti berkali-kali juga kan?” Gading meraih handphone-ku dan mulai memperhatikan semua foto Sheira di sana. Ada sekitar 20 foto yang kubidik hanya dalam waktu 5 menit.

“Dia kan gerak-gerak terus. Susah tahu dapet pose yang bener-bener pas. Banyaknya ngeblur.”

Effort banget, ya?”

“Iyalah sayang. Biar aku nggak bête lihat postingan temen-temenku yang pada jalan-jalan keluar negeri. Yang pada posting kerjaannya. Aku juga bisa kan mamerin anak aku. Yah seenggaknya jadi ada yang bisa aku kasih lihat. Nih, aku bisa loh menghasilkan manusia baru dari perut aku sendiri. Sekalian nunjukin juga kalau aku nggak ilang ditelan bumi.” Aku kembali meraih handphone-ku dari tangannya dan kembali memotret Sheira.

“Emangnya temen-temen kamu nggak bosen lihat di timeline-nya muncul foto anak kita terus?”

“Nggak cuma aku kok yang kayak gini. Hampir semua ibu pasti majang foto anaknya di medsos.” Mungkin Gading nggak tahu kenapa ibu-ibu banyak yang hobi sekali mengunggah foto anak-anaknya ke media sosial. Ya, karena hanya itu yang bisa mereka pamerkan. Nggak ada lagi.

“Kamu emangnya nggak pengin majang foto Sheira. Cakep banget loh dia ini.” Aku menawarkan satu foto Sheira yang sedang tersenyum. Manis sekali.

Lihat selengkapnya