BAB 7
Aku memilih pergi di hari Minggu saat Gading memang libur dan bisa menjaga Sheira. Aku tak punya tujuan pasti. Aku hanya kangen impulsif. Pergi ya pergi saja. Aku memilih naik kereta dan turun di stasiun UI. Dulu, kampusku di sini. Di sini juga aku kenal dengan Kala dan Sigi. Kami dulu ngekos di tempat yang sama, meski kami beda-beda jurusan. Di sini juga aku kenal dengan Gading. Stasiun UI sudah terlalu banyak berubah.
Empat tahun yang luar biasa. Empat tahun yang mengajarkanku banyak hal. Terlalu banyak pelajaran yang kudapat di luar bangku kuliah. Aku membuka notesku dan mulai mencatat. Aku senang sekali mencatat apa saja di mana saja. Terutama ketika sedang berpergian sendiri seperti ini.
Aku masih terduduk di stasiun. Aku lelah mengenang banyak hal dalam satu waktu. Kereta menuju Jakarta sudah datang. Tidak terlalu penuh tapi juga tidak bisa dibilang sepi. Aku langsung masuk ke dalam, masih ada kursi yang kosong dekat pintu. Aku mulai membuka buku catatan dan menyalakan musik serta memakai headset.
Tak lama aku melihat seorang ibu masuk membawa bayinya. Tidak ada yang tampak memberinya tempat duduk. Dua pria di sampingku tampak tertidur, entah sungguhan atau pura-pura. Aku langsung berdiri dan mempersilakan ibu itu duduk. Bayi di gendongannya tampaknya tidak berbeda jauh umurnya dengan Sheira. Lucu sekali sebenarnya. Ah, aku mulai kangen bocah itu. Kangen, tapi aku bahkan belum bisa tidur seranjang dengannya. Entah kenapa ada keengganan untuk tidur di kasur yang sama dengan dia. Air mataku siap tumpah lagi. Tidak, kumohon jangan sekarang. Kapankah baby blues ini segera berakhir?
Aku sudah sampai di stasiun Dukuh Atas dan berganti naik bus TransJakarta menuju bundaran HI. Aku nongkrong di sana bersama beberapa orang lainnya. Aku menyesap kopi kaleng yang tadi kubeli di minimarket stasiun. Malam mulai datang. Aku berpikir untuk menyalakan handphone yang dari tadi kumatikan karena aku tak inign mendapat gangguan. Aku membuka Instagram dan kulihat sebuah postingan temanku yang menjalani terapi untuk bisa punya anak. Aku sering lihat dia posting usahanya bolak-balik ke rumah sakit demi punya anak. Tapi, aku tak juga mengerti mengapa harus sampai sebegitunya.
Aku menelepon Sigi dan mengajaknya ketemuan di dekat sini, tepatnya di Mc Donald Sarinah. Saat ini Sigi orang yang paling tepat untuk diajak bicara. Dia hamil Gita sebelum menikah dengan Marvin. Anehnya, kulihat dia jauh lebih siap dibanding aku menjadi seorang ibu. Mungkin darinya aku bisa belajar banyak hal. Dia saja yang hidupnya penuh banyak rintangan bisa tampak begitu bahagia menjadi seorang ibu. Mengapa aku begitu sulit?
Aku naik bus TransJakarta menuju ke sana. Saat berada di jembatan penyeberangan aku melihat ada anak kecil yang mengemis di sana. Seorang anak yang mungkin jika bisa memilih, ia tak ingin dilahirkan ke dunia, atau kalaupun dia bisa memilih, dia pasti akan memilih orangtua yang mampu menyekolahkan dia bukan yang membiarkannya menjadi tukang minta-minta di pinggir jalan. Aku langsung duduk di Mc Café di bagian luar. Melihat sore perlahan berganti malam.
*
“Gi, apa sih enaknya punya anak? Gue sampe detik ini masih nggak bisa bayangin kenapa orang bisa segitunya kepingin punya anak. Waktu gue ngeluh kehamilan gue, orang cuma bisa bilang kalau gue harusnya bersyukur dikasih hamil, di saat banyak orang di luar sana banyak yang sampe usaha mati-matian untuk bisa hamil.”
“Hhmm. Kalau gue balik nanya, kenapa sih, lo segitunya banget nggak pengin punya anak, May?”