Mungkin kurang dari dua tahun lalu itu aku benar-benar mati dan kini aku memiliki nyawa baru. Rasanya seperti terlahir kembali namun tanpa melewati tahapan menjadi bayi yang harus kembali menyusu ibu, makan bubur, belajar bicara, dan apa pun itu yang terkesan merepotkan. Anggap saja masa itu aku bunuh diri, mati, dan hidup lagi dengan nyawa yang sudah “dicuci” dari segala kisah pedih yang menimpaku serta garis keturunan di atasku dengan segala dosa asalnya.
Hari ini aku tujuh belas tahun, sekaligus hari pertama aku akan memiliki KTP. Banyak orang bilang foto di KTP sering kali tidak sesuai ekspektasi. Orang segood-looking apa pun akan terlihat jelek di foto KTP-nya. Tentu saja aku tidak ingin hal itu terjadi padaku yang begitu penting bagiku menjaga penampilan luar dan tindakan nan menawan.
Alaric Gardapati, demikian namaku dipanggil petugas kantor catatan sipil ini. Kupastikan senyum tidak pernah luput sepersekian detik pun untuk menghasilkan foto KTP yang maksimal. Walaupun pada akhirnya, jangan berharap lebih pada hasil sebuah foto KTP. Senyumku bagus meski kualitas gambar membuat wajahku terlihat kusam.
Setidaknya ada satu hal yang aku syukuri dari foto KTP kali ini: selain rambutku yang kusisir rapi dengan pomade seperti layaknya David Beckham yang menghadiri acara kerajaan Inggris, aku kini terdaftar sebagai penduduk Yogyakarta.
Lalu, apa istimewanya menjadi penduduk di kota yang disebut istimewa ini? Jika kau tahu asal-usulku di sebuah kota kecil penghasil minyak bernama Kilamara, maka mendapat pengakuan sebagai warga kota Yogyakarta menjadi sebuah berkah buatku.
Apalagi setelah lebih dari satu tahun menjadi warga kota budaya ini dan sekarang aku berada di kelas sebelas SMA, semakin membuatku merasa yakin bahwa hometown sebenarnya bagiku adalah Jogja, bukan Kilamara, kota panas, sumber segala prahara hidup yang bahkan kusembunyikan hingga sekarang.
MM Prep School, singkatan dari Mighty Morpheus Prep School, adalah salah satu sekolah internasional sekuler di Jogja. Tidak hanya budaya Indonesia, budaya global juga meresap demikian lekat di SMA tempat aku belajar ini.
Bahkan saking ke-Amerika-Amerika-an teman-teman di sekolahku ini, namaku Alaric saja dipanggil Larry. Aku tidak keberatan dengan hal itu, sepanjang jiwa koleris-sanguinku dapat ekspresif secara tepat sasaran di ruang belajar selama aku bersekolah.
Aku baru saja melakukan pemesanan taksi online. Aplikasi menunjukkan aku harus menunggu kedatangan taksi sekitar lima belas menit lagi. Hari sudah sore, sebentar lagi juga petang. Jelas aku tidak akan kembali ke sekolah, lagian besok akhir pekan. Yang penting tugas-tugas sekolah sudah sekalian kusubmit lewat online selama menunggu proses KTP-ku jadi di kantor kecamatan tadi yang biasalah agak lama. Begitulah, aku memang terbiasa multitasking—multithinking.
Dua minggu lagi sudah memasuki peringatan hari kemerdekaan. Arsenio, sahabatku, kebetulan ditunjuk sebagai salah satu pengibar bendera di kantor gubernur. Sebagai bagian dari solidaritas pertemanan, tentu aku akan mendukungnya dengan datang di setiap latihan.
Awal pertemananku dengan Arsenio justru tidak di sekolah. Saat pertama masuk ke MM Prep, jujur aku masih belum terlalu percaya diri menjadi bagian dari sekolah elit ini. Meski di Kilamara prestasiku diakui, aku tetap merasa sebagai gelas kosong di tempat baru, atau lebih tepatnya hampa.
Aku tidak banyak bergaul pada beberapa pekan awal masuk sekolah. Sampai suatu saat, bude-ku memberi anggaran buat aku berbelanja di mal untuk membeli beberapa baju santai. Kata bude, nanti kalau aku masuk MM Prep, pasti bakal sering beraktivitas sama teman-teman sekolah. Entah itu les, ekstrakurikuler, atau hangout bareng.