“Baik, Pakde.”
Itu sudah menjadi jawaban template setiap kali Pakde Risjad menyampaikan sesuatu padaku. Contohnya baru saja Pakde memberi ceramah supaya aku memberi kabar kalau tidak ikut agenda olahraga pagi berupa jalan kaki keliling kampung, sebelum beliau berdiri siap di depan gerbang rumah. Ya, jawaban template berarti format yang paling aman untuk menghindari konflik dengan pakde.
Setiap jam empat pagi, suara deham Pakde di dalam rumah sudah jadi simbol bahwa aktivitas pagi harus dimulai. Tampaknya, bahkan ayam jantan pun akan merasa tugasnya tak lagi paripurna dalam membangunkan orang kalau yang dilawan adalah sosok pria pensiunan pejabat ini.
Aku memang, di pagi Minggu ini, memilih bermalas-malasan di kasur, berharap bisa menikmati bangun siang. Meski sebenarnya ekspektasi itu mustahil, karena suara deham yang keluar dari kerongkongan Pakde ibarat senapan tentara yang menodong tepat di dahiku yang seolah-olah menghardik tegas "bangun atau mati!"
Aku sudah terbangun, hanya saja tidak siap ikut olahraga bersama kakak kandung ibuku itu. Gaya otoriternya terasa berlebihan, padahal beliau sudah lama tidak menjabat apa-apa lagi. Hidup bersamanya serasa aku menjadi bagian dari staf kementerian, terikat pada struktur kerja membosankan bernama birokrasi.
Namun bukankah aku sendiri yang mendambakan hidup baru dengan pola pikir lebih teratur ini? Tidak berantakan seperti hubungan kedua orang tuaku, yang tetap tinggal bersama meski saling menghancurkan satu sama lain. Itu rahasia yang harus kujaga rapat-rapat. Di SMA internasional sekelas MM Prep, aku ingin dikenal hanya sebagai keponakan orang terpandang: Risjad Suharso, pemilik Bhagawanta Resort yang eksotis di lereng Merapi.
Dengan jawaban “baik, Pakde”, beliau biasanya paham bahwa tuntutan dan perintahnya akan kupenuhi di lain waktu. Apalagi agenda Jumat malam hingga Sabtu dini hari kemarin membuat tubuhku cukup fatigue secara fisik. Jadi Minggu ini, aku benar-benar ingin rebahan.
Kucoba mengingat kembali cerita seru semalam, ketika aku bersama geng 3A menginap di salah satu bungalow Bhagawanta Resort, merayakan resmi kepindahanku menjadi penduduk Yogyakarta. Aku turun dari taksi online, berjalan perlahan menuju lobi resort sambil menunduk, mengecek live location Arsenio dan Alister untuk melihat seberapa jauh mereka dari lokasi. Tanpa sadar, aku sudah berdiri di depan meja resepsionis dan disapa oleh salah satu staf perempuan di sana.
“Siang, Mas Aric. Mohon tunggu sebentar ya, kamarnya masih disiapkan. Teman-teman Mas Aric jadi datang juga?” Petugas resepsionis itu menunjuk sofa lobi agar aku bisa menunggu dengan nyaman.
“Halo, Mbak Via. Iya, nanti aku bareng Arsenio sama Alister. Mereka masih OTW kok. Gak apa-apa, aku tunggu aja, Mbak.”
Kusapa resepsionis ramah itu, menyebut namanya yang kulihat di name tag di dada kirinya. Sepertinya dia pegawai baru. Maka kusebut nama dua temanku, biar dia juga mulai mengenal mereka.
Sofa yang ditunjuk Mbak Via tampak begitu empuk. Aku bersandar sejenak, lalu memanfaatkan waktu dengan membuat Insta Story polling untuk ide keseruan weekend kali ini bersama geng 3A. Foto kami bertiga kupajang sebagai latar, dengan pilihan jawaban:
Follower-ku memang tidak terlalu banyak, hanya sekitar seribu seratusan. Tapi aku hanya mengikuti seratus akun. Jadi, jumlah pengikutku sepuluh kali lipat lebih banyak daripada akun yang kuikuti. Bagiku itu sudah cukup.