Tanda-tanda sisa party di salah satu cottage Bhagawanta Resort berhasil kurapikan dengan cermat. Tidak ada aroma alkohol, botol-botol kosong sudah masuk rapi ke dalam tas Alister seperti semula yang dibalut pakaian kotor supaya tidak menimbulkan bunyi kaca berdenting saat tas tersebut di bawa.
Alister dan Arsenio masih terlelap di tempat tidur masing-masing, tidak heran, mereka memang Jumat malam lalu memilih untuk mabuk demi menghilangkan penat yang mereka rasakan. Ya, aku tahu itu, apalagi mereka cerita banyak hal padaku. Mengingat reputasiku dan juga pakdeku, jadi orang tua mereka berdua sangat percaya sehingga mengijinkan kalau Alister ataupun Arsenio stayover saat weekend bersamaku.
“Ada yang mau ikut ke jogging track? Gue duluan ya, tapi sebelum nyusul, pastiin mulut kalian gak bau vodka ya!” Kulihat Arsenio mulai bangun dan kemudian terduduk dengan mata sembab.
"Nggak deh, gue sore ada latian paskibra, lo aja sendiri.” Arsenio memberi respon sembari berjalan agak gontai ke kamar mandi.
Ya begitulah keseruanku sebagai remaja tujuh belas tahun yang sudah resmi menjadi penduduk Jogja. Sabtu sorenya aku dan Alister masih tetap kompak melihat Arsenio latihan paskibra menjelang perayaan kemerdekaan RI di gedung Agung. Jumat dan Sabtu yang penuh energi dan inilah hari Minggu pagi di rumah pakde yang ingin kuhabiskan hanya dengan bermalas-malasan.
Namun bukan Risjad Suharso namanya jika pakdeku ini tidak terlihat otoriter. Setelah komplain yang disampaikan padaku lantaran aku tidak ada pemberitahuan untuk ikut lari pagi keliling kampung bersamanya di Minggu pagi nan cerah ini, kini aku harus bersiap mengikuti sarapan dengan penuh kesantunan bersamanya dan juga bude.
Meski belum mandi, sarapan bersama keluarga pakde dan bude tidak bisa terlihat lusuh dengan muka bantal. Setidaknya aku harus sudah mencuci muka dan sikat gigi serta menyisir rambut. Setelah merasa tampilan wajahku cukup segar, akupun keluar kamar dan menuruni tangga menuju ruang makan yang berada tepat di bawah tangga menuju lantai atas dekat kamarku.
“Kamu yang pimpin doa ya ric.” Bude memberi arahan padaku untuk memimpin doa di sarapan bersama keluarga kali ini.
“Baik bude,” aku mengiyakan meski rasanya ingin mengomel: kenapa sarapan saja bisa semacam agenda morning briefing militer seperti ini, kaku!
“Ehem,” Deham pakde mulai muncul ketika aku tak kunjung memulai doa bersama.
Lalu, akupun segera menengadahkan tangan serasa memulai kata-kata puitis bermakna doa sebelum makan.