SATURNUS

Ardhi Widjaya
Chapter #5

Kilamara Rewind

Tiga tahun sebelumnya, ketika aku masih berada di kota minyak Kilamara. Seperti saat di Jogja sekarang, aku juga punya dua teman baik seperti Arsenio dan Alister. Tapi memang bukan aku yang jadi “bos” seperti di Jogja.

Yang pertama namanya Pradana, saat itu Dana sudah kelas dua SMA, dia bersekolah di SMA favorit Kilamara Patra di kota minya itu. Sedangkan satu lagi Felip yang satu sekolah denganku di SMP. Felip sama seperti aku anak tunggal sedangkan Dana anak terakhir dari dua bersaudara. Kakak laki-lakinya kuliah di Fakultas Teknik UGM di Jogja saat itu.

Aku akrab dengan Pradana karena yang pertama kami satu kompleks perumahan, beda blok, di rumah dinas karyawan perusahaan minyak Patra Manunggal, kebetulan ayahnya kepala bidang di divisi tempat ayahku bekerja. Yang kedua, Pradana adalah pelatih karate di Manunggal Sport Center dan aku muridnya.

Felip bisa dianggap sebagai si bos-nya. Dia tinggal di kompleks Permata Kilamara, tempat jajaran level direktorat Patra Manunggal. Orang tua Felip membayar semua les mata pelajaran yang aku ikuti supaya anaknya mau ikut les dan punya learning partner. Sebagai anak yang suka belajar, tentu saja aku sangat senang dengan fasilitas ala anak orang kaya ini.

Apalagi orang tuaku sejak aku kecil tipikal yang bingung menyuruh aku main di lapangan karena lebih suka di rumah, baca buku dan belajar. Kebalikan dengan Felip yang gemar main dan kurang suka belajar.

Demikianlah aku yang lebih merasa punya power ketika berteman dengan Felip yang lebih kaya dan Pradana yang jago bela diri. Padahal aku sebelumnya tidak terlalu tertarik untuk bergaul.

Ibuku yang pertama kali mendaftarkan aku untuk ikut ekstra karate seminggu sekali di Manunggal Sport Center. “Kamu bisa bareng sama Dana berangkatnya, lagian dia kan pelatihnya,” itu yang diucapkan ibuku ketika aku berada di semester dua kelas delapan.

Meski ibu dan juga ayahku bangga dengan prestasi akademikku, tapi melihatku yang susah bergaul tentu mengkhawatirkan mereka tentang kecerdasan inteletualku yang akan menjadi sia-sia jika kecerdasan emosi tidak terasah.

Namun setahun berikutnya ibuku justru tidak sadar bahwa tingkahnyalah yang membuatku emosional. Apalagi seiring dengan berjalannya waktu, makin kurasakan ada yang tidak beres antara ibuku dengan keluarga Pradana.

Baiklah akan kuceritakan perlahan tentang permulaan tekanan hidup yang kualami di kota minyak Kilamara. Aku yang semula terpaksa mengikuti aktivitas luar ruang menjadi begitu antusias dengan pengalaman baru. Sehingga kuajak juga Felip untuk ikut ekstra karate denganku.

Dari latihan karate setiap Sabtu sore itulah karakterku menjadi lebih terbuka dan berani berinteraksi dengan orang-orang baru. Keakraban antara aku, Felip dan Pradana yang kala itu kelas 11 SMA juga makin seru.

Kilamara ini kota kecil, untuk ABG berusia tiga belas tahun dan anak orang terpandang, sah-sah saja bagi Felip ketika di luar jam sekolah, jalan-jalan keliling kota dengan Jeep CJ7 gaya militer klasik keluaran tahun 85. Jadi Felip-lah yang rutin menjemput kami setiap Sabtu sore menuju ke tempat latihan karate dengan Jeep andalan milik ayahnya.

Lihat selengkapnya