Dua pertemuan aku bolos latihan karate. Tiap kali Felip datang menghampiri ke rumah untuk mengajak berangkat bersama, aku selalu menolaknya. Padahal aktivitas luar ruang seperti karate cukup menjadi penyemangatku selama ini.
Tapi sejak kejadian Pradana yang meludahiku di depan rumahnya, membuatku enggan mengikuti karate, apalagi dia pelatih di sana, Otomatis dia akan punya wewenang lebih banyak sebagai senior.
Bagaimanapun juga, dua kali bolos latihan sudah cukup bagiku. Aku tidak ingin terlihat kalah meski aku tahu kesalahan ada di pihakku tentang ibuku yang menjadi perempuan simpanan ayah si Pradana. Hanya saja tentu tidak adil kalau aku mendapat perlakuan semena-mena dari Pradana. Lagipula aku sudah membayar rutin biaya latihan karate, tentunya gaji Pradana juga dari iuran yang aku bayarkan itu.
“Oke Fel, yok kita berangkat.” Aku mengiyakan ajakan Felip yang datang menghampiri ke rumah setelah sebelumnya sudah aku kirimi teks di telepon selularnya untuk berangkat latihan karate bersama.
Kali ini kami berdua memilih bersepeda menuju Kilamara Athletic Center, tepatnya di lapangan atletiknya, menjadi dojo alias tempat latihan karate rutin dijalankan. Di alivitas ini, aku menempati jenjang sabuk hijau, sedangkan Felip berada satu tingkat di bawahku dengan sabuk oranye. Pradana yang sudah kelas 11 SMA sekaligus pelatih tentu dia sudah memiliki sabuk hitam.
Setelah menggunakan seragam, tanpa menunggu aba-aba, aku dan Felip mulai pemanasan dengan berlari keliling lapangan beserta sekitar dua belas peserta latihan lainnya. Dua putaran cukup dan kami berkumpul di tengah-tengah lapangan untuk instruksi selanjutnya.
Pradana memandu latihan seperti biasa. Ekspresinya juga tidak ada bedanya seperti latihan-latihan sebelumnya. Kali ini dia langsung mengarahkan peserta untuk melakukan jiyo kumite, pertarungan bebas satu lawan satu.
Pertama yang dapat giliran Felip. Dia diberi kesempatan melawan Haidar yang ekbetulan juga satu sekolah dan seangkatan sama kami di SMP. Cara bela diri dan teknik serangan Felip ini sebenarnya bagus. Hanya saja ambisinya dia untuk akselerasi dalam hal naik tingkat tidak seperti aku. Pertarungannya dengan Haidar berakhir seri.
“Ric, kamu berikutnya, lawan Bekti” Pradana menunjukku untuk melawan Bekti yang saat ini sudah pakai sabuk biru. Sepertinya Pradana sengaja ingin menghajarku dengan cara lain. Aku beranjak dari posisiku untuk melawan Bekti, anak kelas 10 SMA di SMA Kilamara Patra.
Aku dan Bekti saling memberi hormat, tiga menit kami bertarung. Aku lebih banyak mengajukan serangan dengan kaki karena Bekti gesot sekali untuk menghindar, membuat tanganku agak kesusahan untuk memberikan pukulan ke arah dada atau pundaknya.
Pertarungan mendadak berhenti ketika Bekti berteriak “cukup!”. Padahal Pradana belum memberi aba-aba untuk berhenti.
“Kenapa Bek?” Pradana bertanya.
“Kampret nih, lawan Alaric berasa lawan sama cewek, alus banget perlawanannya, yang ada bikin aku ngaceng!”