SATURNUS

Ardhi Widjaya
Chapter #8

Lulusan Terbaik

Pengumuman hasil ujian kelulusan telah muncul. Tak diragukan lagi, nilaiku tertinggi. Setelah pengumuman aku mampir ke rumah Felip sambil main play station. Ibunya sesekali mengomel tentang nilai kelulusan Felip yang terbilang rendah namun untungnya tetap berhasil lulus.

Ibu Felip merasa selama ini anaknya sudah ikut les berbagai macam Pelajaran bareng bersamaku tapi nilai Felip masih pas-pasan. Ibunya berharap Felip bisa memiliki nilai kelulusan yang setidaknya mampu membuatnya diterima di SMA Kilamara Patra.            

“Yang penting lulus bu, belum tentu juga nilai ujian bagus jadi orang sukses ntar, eh ini bukan nyindir kamu lho bro,” Felip merespon ibunya yang mengomel.           

“Kalo Alaric sih jaminan sukses tuh, mau masuk SMA favorit manapun pasti bisa,” ibunya Felip masih mengomel.            

“Nggak juga tante, aku daripada masuk SMA Kilamara Patra mending satu sekolah lagi sama Felip meski isinya anak-anak yang dianggep bandel.” Aku mencoba menimpali omelan ibunya Felip dengan sopan.            

“Loh kok gitu Ric? SMA Kilamara Patra kan sekolah favorit di sini?” Ibunya Felip terlihat heran denga napa yang barusan kusampaikan.            

“Bosen tante, capek sama saingan akademik tapi sebenernya orangnya itu-itu lagi. Kalau mau kompetisi prestasi yang lebih maju, aku sih pengen banget pindah ke SMA di Jogja, tapi kan biaya buat tinggal di sana juga butuh uang yang lumayan banyak, belum lagi bayar sekolahnya.” Kucoba memaparkan alasan yang membuatku merasa sebal untuk masuk ke SMA Kilamara Patra yang dibilang favorit.         

Di rumah, di dalam kamar, aku menatap surat penerimaan dari SMA Kilamara Patra dengan perasaan campur aduk. Tanganku gemetar, dan hatiku terasa hampa. Di atas kertas itu, tertera namaku dan masa depanku yang seharusnya cerah. Namun, yang kurasakan hanyalah ketakutan dan kepedihan yang mendalam. Pradana, musuh bebuyutanku di tempat karate, juga akan berada di sekolah yang sama. Pikiran tentang pertemuan sehari-hari dengan Pradana membuat perutku mual.

Namun, bukan hanya itu yang menghantui pikiranku. Saat ini, aku mendengar sesuatu yang menghancurkan hatiku. Suara pertengkaran orang tuaku yang semakin sering terdengar dari balik dinding kamar mereka akhirnya mencapai puncaknya.

"Pokoknya aku nggak bisa lupa dan sekarang giliranku buat bebas!" Suara ibu terdengar marah, bercampur kesedihan yang dalam. Aku, yang sedang berada di kamarku, tidak bisa menghindari mendengar setiap kata yang terucap.

" Kamu pikir aku lupa tentang wanita-wanita itu? Tentang pelacur yang kau datangi dulu?" Ibu berteriak, suaranya pecah oleh emosi.

"Aku sudah meminta maaf! Itu semua sudah berlalu!" balas ayah dengan suara keras.

"Tapi tidak bagiku! Tidak bagiku!" teriak ibu. "Perselingkuhanku dengan Pak Kardono adalah balas dendam! Balas dendam untuk semua yang udah kamu  lakukan padaku!"

Kata-kata itu membuat duniaku seakan runtuh. Ibu dan ayah, dua orang yang selalu kupandang sebagai teladan, kini saling menyerang dengan kebencian yang mendalam. Dan mengetahui bahwa ibu berselingkuh dengan ayah Pradana—sosok yang sudah cukup menyiksa hidupku—menambah lapisan penderitaan baru.

Lihat selengkapnya