Setelah pesta kecil di resort milik Pakdeku, aku mulai merasa punya kendali atas segalanya. Entah karena alkohol atau karena suasana malam itu terlalu tenang untuk membuat kami jujur, tapi malam itu jadi malam ketika rahasia-rahasia sahabatku terbuka tanpa sengaja.
Resort itu sepi. Lampu taman berpendar lembut, menyoroti jalan setapak menuju kolam renang yang berkilau samar. Angin malam Jogja berhembus pelan, membawa aroma tanah dan daun basah. Di ruang tengah, kami bertiga duduk melingkar di atas sofa kulit. Botol-botol minuman berserakan di meja, musik pelan mengalun dari speaker Bluetooth, lebih sebagai latar daripada hiburan.
Alister yang paling dulu bicara. Matanya sayu, pipinya memerah, suaranya berat.
“Lo tau nggak, gue paling benci inget waktu bokap nyokap gue cerai di Balikpapan. Gue masih SMP waktu itu. Malem-malem gue sering denger nyokap nangis di kamar, tapi gue nggak bisa ngapa-ngapain. Gue benci bokap gue, tapi gue juga nggak bisa benci sepenuhnya. Dia tetep bokap gue.”
Aku menatapnya sekilas, lalu tersenyum tipis kemudian tersenyum yang lebih mirip rasa puas ketimbang empati. Aku meneguk minumanku sebelum berkata datar,
“Jadi itu alasan lo kabur ke Jogja, Lis? Ngelindungin diri lo di kos eksklusif biar nggak denger tangisan nyokap lagi?”
Dia cuma menunduk, menatap kosong meja di depan kami.
Giliran Arsenio bicara. Tangannya meremas botol kosong.
“Lo pikir keluarga gue lebih baik? Bokap gue, panutan yang gue banggakan, harus masuk rehab di Jakarta karena narkoba. Gue inget waktu mobil polisi datang ke rumah, tetangga ngumpul kayak nonton sinetron. Gue sama nyokap pindah ke sini biar bisa mulai dari nol lagi. Tapi gimana caranya gue bisa percaya sama figur ayah lagi, kalau orang yang harusnya jagain malah rusak kayak gitu?”
Aku tertawa kecil, entah karena mabuk atau karena merasa lebih kuat dari mereka.
“Jadi kalian berdua punya bapak yang gagal, dan itu alasan lo keliatan patah. Gue juga punya hidup berantakan, tapi bedanya, gue nggak pernah pakai itu buat alasan keliatan lemah.”
Arsenio melirik tajam, tapi mabuk membuat tatapannya tumpul. Alister menutup wajahnya, menahan isak kecil. Aku hanya menatap mereka, dalam diam merasa unggul.
Malam itu, aku sadar: luka mereka adalah celah. Informasi yang bisa kusimpan, entah untuk sekadar dominasi atau sesuatu yang lebih berguna nanti.
“Lo yakin nggak bakal ketahuan, Ric?” tanya Arsenio akhirnya, suaranya parau.
“Tenang aja,” jawabku santai. “Pakde gue nggak pernah nyariin gue malam-malam. Lagian, siapa juga yang bakal ngadu?”
Alister menggeleng pelan. “Gue nggak ngerti, lo selalu punya cara buat bikin orang percaya.”
Aku menyeringai. “Makanya lo belajar dari gue. Hidup tuh bukan soal aman, tapi soal siapa yang paling berani ngambil risiko.”