Ketika aku mulai tenggelam dalam pesona Cipta, perlahan-lahan aku menjauh dari kebiasaanku berpesta dengan Arsenio dan Alister. Kehadiran gadis itu membawa semacam ketenangan baru dalam hidupku berupa perasaan yang belum pernah aku rasakan sebelumnya, bahkan setelah semua euforia kemenangan lomba atau pesta di resort pakdeku. Cipta seperti jeda dari semua kebisingan yang selama ini aku anggap menyenangkan.
Ia sering mentraktirku makan di kafe kecil dekat MMprep, atau sekadar menemaniku belajar di perpustakaan hingga matahari hampir tenggelam. Sesi latihan debat kami kerap berubah jadi obrolan santai yang diwarnai tawa, sedikit sindiran ringan, dan senyum kecil yang menenangkan. Entah kenapa, bersamanya, dunia terasa lebih teratur.
Aku tahu Arsenio dan Alister mulai merasa kehilangan versi diriku yang dulu. Tapi aku terus meyakinkan diri bahwa aku hanya sedang belajar jadi lebih dewasa. Mungkin memang begini rasanya: meninggalkan sedikit kebisingan untuk menemukan sesuatu yang lebih tenang.
Suatu sore yang panas di awal September, aku memutuskan pergi ke sport center sendirian. Biasanya, hari Sabtu adalah waktu kami bertiga yakni Arsenio di gym, aku di kolam renang, dan Alister berlari di lapangan atletik sambil mendengarkan playlist yang tak pernah berubah. Setelah itu kami akan berkumpul di kedai kecil di depan gapura, menikmati semangkuk mie Jawa sambil membahas hal-hal sepele—tentang hidup, guru yang menyebalkan, atau siapa yang lagi dekat dengan siapa.
Kebiasaan itu kini tinggal kenangan kecil.
Kolam sore itu memantulkan cahaya matahari yang menusuk. Airnya berkilau seperti kaca cair, seolah menertawakan pikiranku yang mulai berantakan. Aku berenang cukup lama, mencoba melupakan beban yang bahkan tidak kumengerti. Saat selesai, aku duduk di pinggir kolam, menatap permukaannya yang beriak lembut, lalu membuka ponsel.
Alaric: “Sen, lo di gym?”
Kuketik pesan itu dan menunggu. Lima menit berlalu. Tidak ada balasan. Sepuluh menit pun sama.
Aku mengangkat bahu, mungkin Arsenio sedang sibuk. Tapi entah kenapa, langkahku malah membawaku ke arah gym. Ya, siapa tahu bertemu Arsenio di situ.
Udara di dalam ruangan bercampur aroma karet dan keringat. Musik beat terdengar samar, tapi suasananya aneh, terlalu sepi untuk ukuran sore akhir pekan. Aku berjalan perlahan, memperhatikan barisan treadmill dan cermin besar yang memantulkan postur orang-orang yang berlari di atas treadmill. Lalu, aku memutuskan pergi ke toilet untuk membasuh muka sebelum pulang.
Udara di dalamnya dingin dan kering. Lampu putih di langit-langit menciptakan bayangan tajam di dinding keramik. Saat aku membuka pintu, kudengar suara samar dari salah satu bilik yang setengah tertutup. Awalnya kupikir hanya dua orang sedang bercakap pelan, tapi ketika aku menoleh sekilas, tubuhku langsung membeku.
Di sudut remang itu, aku melihat Arsenio berdiri sangat dekat dengan seorang laki-laki. Terlalu dekat untuk sekadar percakapan biasa. Gerak mereka lembut, penuh kehati-hatian dan cenderung mesra, seperti ada sesuatu yang ingin disembunyikan tapi terlalu kuat untuk dihentikan. Aku tak mendengar kata apa pun, hanya keheningan yang tiba-tiba terasa berat di antara bunyi tetesan air dari wastafel.
Dada terasa kosong. Suara detak jantungku lebih keras dari apa pun di ruangan itu.
Aku berbalik cepat, melangkah keluar tanpa menoleh lagi. Udara sore di luar terasa menampar wajahku. Langit masih terang, tapi entah kenapa semuanya tampak redup. Batinku bertanya riuh “Arsenio punya pacar cowok?”
Aku melangkah menuju warung bakmi Jawa di depan gapura sport center. Tempat itu selalu jadi penutup ritual kami bertiga. Tapi sore ini aku duduk sendirian. Tangan gemetar saat memegang sendok. Aku memesan semangkuk mie godog, berharap panasnya bisa menghapus bayangan yang terus berputar di kepalaku.
Namun, tak lama setelah mangkukku datang, dua sosok muncul. Arsenio datang bersama laki-laki yang kulihat di toilet tadi.
“Eh ada lo Ric, ini kenalin,” katanya santai, seolah tak ada yang perlu dijelaskan. “Ini dokter yang nanganin perawatan kulit gue waktu gue ikut duta wisata. Namanya Andro.”
Andro menjabat tanganku sambil tersenyum sopan. “Senang kenalan sama lo. Arsenio sering cerita, katanya lo jago debat.”