Aku tidak pernah merasa setegang malam ini.
Semuanya sudah kususun sempurna. Gazebo kecil di pinggir sawah, lampu taman memantulkan kilauan air di sungai kecil pematang sawah yang tenang, lilin-lilin mungil bergerak dipukul angin lembut. Kelopak mawar merah kususun rapi di atas meja makan bertaplak putih. Bahkan aku sempat meminta koki resort menyiapkan dessert spesial berbentuk hati.
Semua ini… untukku menyatakan perasaan pada Cipta.
Kupatut diriku di depan cermin. Rambut sudah kuatur, cologne sudah kupakai—aku merasa seperti versi terbaik dari diriku. Sampai sebuah bunyi notifikasi WA memotong seluruh keyakinanku.
“Maaf, Ric. Aku nggak bisa datang. Aku tau tujuan kamu malam ini, maaf aku juga nggak bisa nerima perasaan kamu. Kamu temen yang baik, tapi aku nggak punya rasa yang sama. Maaf banget.”
Mataku berhenti berkedip.
Suara nafasku seperti terputus.
Aku menatap layar itu lama… terlalu lama.
Kalimat-kalimat itu seperti tangan tak terlihat yang mendorongku jatuh ke jurang. Meja makan romantis itu sekarang tampak menyedihkan ibarat jebakan harapan yang kubangun untuk menghancurkan diriku sendiri.
Aku tertawa. Lalu suara itu berubah jadi semacam erangan sakit.
“Kenapa sih harus sesakit ini?” gumamku, tapi hanya angin yang mendengar.
Aku mundur beberapa langkah dan duduk di sofa ruang tamu. Tubuhku seperti kehilangan tulang. Dunia yang tadi penuh rencana mendadak terasa kosong tanpa arti.
Aku butuh pelarian.
Aku butuh teman.
Tanganku bergetar saat mengetik di grup WA kami.
“Bro, gue di resort. Kalian bisa kesini? Gue butuh temen.”
Tidak ada balasan.
Kutelepon. Nada sambung panjang. Tidak diangkat.
Kesepian menjalar pelan, seperti dingin yang naik dari lantai ke tulang-tulangku.
Ketika ponsel kembali bergetar, aku langsung mengusap layar. Kubayangkan itu Alister atau Arsenio yang bilang “Otw, bro!”
Tapi bukan.
Dan pesannya bukan pertolongan.
“Udah lah, kalo lo males diajakin Alaric nongkrong karena dia sok jadi ketua geng, bilang aja lo malu temenan sama dia lis.”
Jari-jariku membeku.
Nama pengirimnya: Arsenio.
Tubuhku seperti ditampar.
Keras.
Pesan itu jelas bukan untukku.
Mereka membicarakanku di belakang, di momen aku paling jatuh.
Aku menatap layar lama.
Ada tekanan di dadaku. Bukan sedih.
Lebih mirip amarah yang menyalakan seluruh diriku.
Aku selama ini menutupi kegelisahan mereka.
Aku menyimpan semua rahasia kelam Arsenio.
Kupikir mereka butuh aku.
Ternyata mereka justru malu memiliki aku.
Satu hal yang bisa kulakukan:
Blokir.