“Sopo sing teko, Mbah?” suara renta seorang perempuan yang terpatri dalam hati sekaligus luka Senna menghampiri. Tak ayal, tubuhnya membeku dengan bulu meremang. Masih dalam posisi jongkok, ia mendongak. Astaga! Kerutan wajah yang kian saling membelit itu bahkan tidak melunturkan keangkuhannya sedikit pun. Dan malah, angkuh itu semakin kentara.
Senna bangkit dan mengangsurkan tangan kanan, “Mbah Putri apa kabar? Sehat?”
Ia mati-matian menegaskan gestur dan nada bicaranya. Kali ini, ia tak akan kalah. Ia bukan lagi anak kecil lugu yang polos terdiam saat dikucilkan, diabaikan, ditolak, hingga didera kekerasan fisik maupun psikis. Ia tujuh belas yang sudah mengalami banyak pengalaman dan siap menyongsong masa depan. Meski jiwanya masih rapuh, ia berdikari serta berusaha untuk berdaya dan pantas.
Perempuan berusia 75 tahun itu hanya mengangguk. “Wes, bersih-bersih dulu. Bapakmu sebentar lagi datang,” Darminah mengibaskan tangan menyuruh Senna masuk.
Sebelum memasuki kamar yang dulu ia tempati di rumah ini, Senna menengok. Netranya menangkap kehangatan sang nenek dan Cinta yang menimbulkan rasa nyeri dalam jantungnya. Ia tidak pernah diperlakukan seperti itu. Entah perasaan iri atau bukan, Senna perih mendapati ketimpangan itu.
Kaki-kaki mungil Senna terhenti di ambang pintu kamar 3x3 meter. Dadanya terasa pengap dan mampat. Kamar ini menjadi saksi bisu suramnya masa lalu Senna, Ibu, dan Adiknya. Gemuruh kesedihan dan amarah seketika meluap melalui kristal-kristal bening yang sudah menganak-sungai di pipi.
Senna tahu dan paham sekali, ia tidak akan pernah diberi ‘tempat’ di sini. Tak ingin berduka terlalu lama, ia memilih mengambil peralatan mandi dan pakaian ganti dari tas.
********************