Saujana

Aqeera Danish
Chapter #7

3b - Cinta Dua Dunia

Sialnya, Senna tak bisa menahan tawa. Ia terbahak seraya melangkahkan kaki memasuki halaman. “Euleuh-euleuh, itu cucu, baru inget pulang? Masih hapal jalan ke rumah?” sungut Enin sembari mengacungkan sapu lidi. Suaranya khas, melengking tinggi dari awal hingga akhir kalimat. Alarm tanda bahaya di kepala Senna seketika berbunyi. 

           “Awas tah, sekali lagi lupa pulang, Enin coret dari daftar cucu,” ancam perempuan 72 tahun itu tak ada habisnya. 

Ketika jarak keduanya semakin terkikis, Senna cengengesan menggoyang-goyang tote bag di depan wajah Enin. Sepasang mata tuanya berbinar. Namun, saat tangan keriputnya akan menyambar oleh-oleh dari Senna, sejoli soang kembali. ‘Mungkin minta jatah,’ pikir Senna. 

Tapi tidak, unggas berleher panjang itu rupanya belum akur dengan Senna. Ia berusaha mematuk kaki si gadis. Enin auto beralih ke mode bojo galak. “Awas kalau berani matuk, Enin peuncit geura!” 

Tangan kiri perempuan ringkih itu mengibas-ngibas sapu lidi yang digenggamnya – menghalau pasangan soang yang usianya hampir menyamai Senna. Sementara, gadis itu menyambar tangan kanan Enin lalu mengecup punggungnya takdzim. 

Senna kemudian beringsut ke samping kiri Enin dan merangkul pundak sang nenek dengan tangan kirinya. “Jangan dipotong, dong, Nin. Bukannya itu soang kesayangan, ya? Warisan paling berharga dari ayang bebeb,” goda Senna. 

Enin terkikik geli. “Ih, Teteh mah. Meuni seneng pisan godain Enin,” tukasnya malu-malu. 

Keduanya lalu melangkah ke arah pintu masuk. Senna mengeratkan pelukan tangannya di pundak sang nenek. Ia selalu merasa nyaman dan aman bila berdekatan dengan Enin. Sosok tua ini fleksibel dan berpikiran maju. Ia adaptif, mau belajar mengikuti perkembangan zaman. Apalagi soal kuliner dan parenting, ia tak malu bertanya kepada anak-cucu, terutama Ais. 

           “Teteh mandi dulu, Enin mau ke dapur,” titah Enin. Senna berdehem dan menyerahkan tote bag ke tangan Enin. 

Tubuh Senna yang semula lengket oleh keringat, kini terasa kesat dan segar. Air di rumah Enin berasal dari mata air pegunungan yang bahkan bisa diminum langsung. Setelah memakai kaus, kulot, dan jilbab, ia bergegas ke dapur. Di sana, ia lihat tubuh sang nenek ikut terhuyung saat mengangkat cerek besar untuk menuang air panas di dalamnya ke termos. 

           “Biar Senna aja, Nin,” Senna mengambil alih cerek dari tangan Enin. “Tumben, Enin masak air sore-sore di hawu. Kompor gasnya kenapa?” tanyanya lagi. 

           “Gasnya habis. Enin nungguin Kang Dindin anter gas ke rumah, sekalian masangnya. ‘Kan Enin gak bisa. Ceu Ilah juga takut,” jawab Enin. 

Senna melirik nenek terkasihnya. Ah, sedih. Beliau harus tinggal dan mengurus segalanya sendirian. Lima pasang anak-mantu sebenarnya sudah menawarkan Enin untuk tinggal di rumah mereka. Tapi apa daya, Enin tak ingin meninggalkan rumah kenangannya bersama Aki. 

Bayangkan, di atas tanah ini, Aki membangun rumah pertama saat mereka baru saja menikah. Dimulai dari rumah bilik beratap ijuk, hingga menjadi rumah permanen seperti sekarang. 

Senna lalu menghampiri gas unyu berwarna merah muda itu dan melepas kepala regulatornya. “Senna beli gas dulu ke agen,” ucapnya singkat sembari keluar dari dapur. 

Lihat selengkapnya