Sawan Kuburan

SyerrilAuztin
Chapter #1

Kematian Misterius

Malam ini hari pertama kematian Mbak Annisa. Setelah dimakamkan sore tadi, rumah almarhumah terasa sepi dan mencekam. Hanya beberapa tetangga dekat saja yang mau tahlilan kirim doa, lainnya entah pada ke mana. Padahal, biasanya tidak begini. Ada orang meninggal ya bapak-bapak satu RT ikut ngaji di rumah duka.

Mak Is, tetangga paling cerewet di RT 22 nyeletuk membuka obrolan. "Sek teko ngaji yo mung sitik kae opo?"1

"Iyo, ndak bakal nambah. Wong Nisa uripe ora tonggo uwong!"2 sahut Lek Siti ketus.

Nyes. Rasanya ada bara api ditempel paksa ke hati. Sangat panas. Namun, aku memilih diam. Pura-pura sibuk mengaduk minuman hangat untuk suguhan. Kalau ditanggapi, obrolan emak-emak yang kemungkinan lahir tidak jauh dari tahun kemerdekaan Indonesia itu, akan berjilid-jilid hingga besok pagi.

Aku melirik ibu yang berusaha keras menyembunyikan rasa kesalnya juga. Meskipun apa yang dibilang Lek Siti benar, bahwa selama ini Mbak Annisa jarang akrab dengan tetangga, tapi ya tidak seharusnya ngomong sekarang, di rumah almarhumah pula. Unek-unek itu tahan lah sampai pulang, minimal.

Setahuku, Mbak Annisa bukan tidak kenal orang satu RT, tapi lebih sibuk dengan komunitas dan berbagai kegiatan di luar desa.

Lalu, hari ini, untuk pertama kali setelah tidak ada di dunia, Mbak Annisa merepotkan semua orang. Mulai dari satu minggu sakit, meninggal, proses pemakaman hingga tahlilan. Yang hadir memang tidak seberapa banyak, tapi tetap saja menjadi bahan ghibah bagi orang-orang cerewet seperti Mak Is dan Lek Siti. Sudah benar saja kadang dicari celah kelirunya, kok.

"Sudah, Mak, Lek. Pamali ghibahin orang yang sudah meninggal," balasku. Berusaha mengerem omelan dua emak-emak itu sebelum merembet jauh.

"Nyatane tenan, Nggun. Ndak ada warga di kampung sini yang kenal Annisa!" jawab Mak Is seperti tidak terima.

"Ndak bocahe ora krungu ae, lho, Nggun!"3 Lek Siti ikut menambahi.

Huft, beginilah resiko jika rewang atau membantu menyiapkan hidangan, dan kebetulan ada di antara the power of emak-emak. Dapur minimalis rumah Mbak Annisa malah terasa semakin sumpek. Mau kabur tidak enak, diam saja dikira budek. Ambyar semua sudah.

Satu lagi, begitulah resiko seseorang yang tidak akrab dengan tetangga. Seumur hidup sekadar kenal. Sakit parah tidak ada yang peduli, tapi kalau meninggal bakal menjadi bahan ghibah satu kabupaten. Mutlak hukum sosial.

Aku menoleh ke arah ibu lagi, bermaksud minta bantuan harus bagaimana, tapi wanita yang sudah melahirkanku itu malah abai. Dari awal tidak tertarik nyaut, kok.

"Pas nginep di rumah sakit seminggu itu, Nisa sakit opo, to, Nggun?" tanya Mak Is penuh selidik.

Parah bener, malah tidak peka dan tidak mau diam tetangga satu ini.

"Ibu yang nungguin, Mak!" ujarku malas.

Mak Is dan Lek Siti langsung mengalihkan pandangan ke arah ibu, penuh rasa ingin tahu. Sedangkan yang saat ini menjadi pusat perhatian tetap memilih abai enggan berkomentar.

"Piye, Sri? Kamu yang bolak-balik rumah sakit nunggu Nisa?" Lek Siti akhirnya tidak sabar lagi menunggu penjelasan ibu.

"Loro sesek, Ti, tapi wes kasep weruhe."4

Sesingkat itu jawaban ibu, sebelum mengambil alih tugasku membawa kopi dan teh untuk bapak-bapak yang sedang tahlilan di ruang tamu. Aku tahu ibu sedang menghindari pertanyaan lanjutan, supaya tidak merembet ke mana-mana tentang Mbak Annisa.

Lihat selengkapnya