Ayudisa Baswara. Nama yang indah dengan doa-doa baik di dalamnya. Mereka bilang, doa itu terkabul. Aku tumbuh menjadi gadis cantik yang bersinar. Aku pintar dalam hal akademik, tetapi payah dalam urusan bersosialisasi. Aku memiliki banyak piala-piala dan kemenangan, tetapi tak memiliki teman. Hari-hariku hanya dipenuhi oleh soal-soal dan materi yang sangat memuakkan. Aku, seorang Ayudisa Baswara yang selalu jadi bahan perbincangan mereka. Aku tahu dan hanya diam. Mereka sering kali membicarakanku. Betapa bahagianya menjadi seorang Ayudisa Baswara. Siapa yang tidak mengenali gadis cantik nan cerdas ini? Ditambah, aku adalah seorang anak dari Bena Baswara.
Tidak hanya hal-hal baik yang mereka ceritakan tentangku. Bukankah di dunia ini tak ada yang sempurna? Aku masih memiliki cela, setidaknya untuk mereka bicarakan. Mulai dari yang katanya pintar karena tertunjang fasilitas, sampai anak aneh yang tidak bisa diajak berteman. Tapi, mereka memang benar. Uang keluargaku lah yang membuat kepintaran terus menerus mengitari kepala. Dengan uang-uang ini, aku mengikuti banyak kelas tambahan, banyak kelas privat, latihan-latihan soal yang mereka tidak dapatkan. Lalu, apa mereka pikir aku senang? Tidak juga. Aku lelah. Benar-benar Lelah.
Lalu, tentang anak aneh yang tidak ramah dan tak pernah terlihat memiliki teman. Di satu sisi aku mengiyakan, tapi di sisi lain menurutku mereka salah. Aku selalu sendirian dan memang itu kenyataannya. Jadwal-jadwal yang kupunya membuatku merelakan masa-masa bermain dengan teman sebaya. Aku juga ingin seperti mereka. Tapi, aku tidak sombong. Tidak bermain dengan mereka, bukan berati aku tidak suka. Aku hanya tidak tahu, bagaimana cara untuk memulai.
Tidak sedikit pula yang merasa iri. Ketika guru-guru menjadikanku sebagai patokan dan contoh sebagai murid teladan, mereka menatap mataku seakan aku adalah musuh yang harus dimusnahkan.
Mereka tidak pernah tahu, bagaimana rasanya menjadi seorang Ayudisa Baswara. Mereka tidak pernah merasakan, bagaimana benakku selalu berpikir bahwa mati mungkin lebih baik daripada hidup dalam tekanan.
Sampai hari kejuaraan itu datang, dan kekalahan kali ini memeluk tubuhku. Pertama kalinya, kata menang itu tidak menjadi sahabat baik. Ia berselingkuh dengan orang lain, dan ayah menjadi murka karenanya.
Beberapa hari berlalu, kekalahanku sedikit termaafkan. Mata ayah tidak seseram saat mengetahui bahwa aku hanya juara dua di bidang matematika. Sampai akhirnya, kesialan itu kembali melambaikan tangannya padaku. Tepat setelah keluarga Indarto meninggalkan meja makan malam. Aku sudah menduga, ucapan yang keluar dari mulut Raynar malam itu akan membuat ayah kembali marah. Tidak pada Raynar, tetapi padaku. Ayah kembali melemparkan tatapan yang sangat sangat tak kusukai dan seperti biasa, aku hanya bisa menunduk dibuatnya. Raynar membuatku terseret dalam dunia yang memuakkan ini semakin dalam. Jadwal-jadwal kelas tambahan yang sebelumnya sudah terasa sangat melelahkan, bertambah lagi.
‘Kau lihat bagaimana anak lelaki itu meremehkanmu?’
Apakah salah tidak menang satu kali saja? Apakah sebuah dosa besar, merasakah kekalahan satu kali saja? Apa sebegitu hina? Aku merubuhkan badan ke kasur. Satu-satunya tempat yang setia merangkul tubuh lelahku.
Sudah hari ketiga dengan kelas tambahan ekstra. Aku tidak sanggup lagi. Mataku merah, kepalaku berat. Materi-materi yang harus kupelajari rasanya sudah tak dapat kutampung. Maka, selepas bel pulang sekolah itu berbunyi, aku mengendap-endap menuju halte belakang sekolah demi menghindari Pak Supri yang sedari tadi sudah menunggu. Duduk termenung, memikirkan apakah orang lain memiliki kesulitan yang sama dengan yang aku alami. Aku tak melihat beban di kepala mereka. Semuanya terlihat baik-baik saja. Mereka berkumpul sepulang sekolah. Bermain, berjalan beriringan, saling melempar tawa, tidak seperti seorang Disa yang selalu sendirian. Katanya buku adalah teman yang baik, tetapi aku ingin teman yang lebih dari sekedar lembaran kertas yang bertumpuk-tumpuk itu.
Aku menghela napas panjang. Membiarkan kedua telapak tangan menutup wajah yang runyam. Ingin sehari saja rasanya aku kabur ke dunia lain. Tidak terbebani dengan tugas, tidak terus dihantui oleh kejuaraan-kejuaraan apa pun itu.
Tiba-tiba lelaki menyebalkan itu muncul lagi. Masih dengan sisi menyebalkannya yang mengancam akan memberi tahu Pak Supri bahwa aku sedang sembunyi. Ia mengulurkan tangan, aku tak tahu apa maksudnya. Rupanya, ia meminta handphoneku yang sejak tadi terus berdering.
Seakan terhipnotis, aku menuruti apa yang ia perintahkan. Ternyata Raynar tidak terlalu buruk. Lelaki itu menarik tanganku, untuk pertama kalinya. Mengajakku menikmati hari yang penuh dengan kebebasan. Akhirnya, untuk beberapa tahun yang telah aku lewati, aku kembali memiliki teman juga waktu bermainku yang hilang.
Kami menghabiskan waktu sampai senja tak terasa sudah mengibarkan warnanya. Aku tahu, setelah ini hal buruk mungkin akan menghampiri, tapi siapa peduli?
Raynar melempar batu ke danau, katanya batu itu ia ibaratkan sebagai beban. Ia harus melemparnya sejauh mungkin, dan memintaku untuk melakukan hal yang sama. Aku mengiyakan. Melempar batu, membiarkan senyuman yang lenyap entah berapa lamanya, kembali tergantung di bibirku. Raynar kembali menatap, mengingatkanku pada seseorang yang membuatku semakin merasa bahwa hidup sebagai Ayudisa Baswara bukanlah hal yang perlu dibanggakan.