Sawang Sinawang

Monita Alvia
Chapter #7

Kirana Asmarini

Gue, Kirana Asmarini. Siapa yang gak kenal gue? Penyanyi, pemain film, dan bintang iklan. Gak cuma di televisi, nama gue pun melanglang buana di permedsosan. Dengan followers di angka dua puluh lima juta, komentar yang selalu bejibun di setiap postingan, verified? Jelas! Semua kegiatan gue, mereka bisa liat. Gue selalu pasang foto-foto dengan penuh senyuman. Terus, mereka semua suka sama gue? Haha. Gak semua. Segelintir dari mereka itu cuma mau tau hal apa yang bisa mereka bicarain nantinya. Gue inget, seseorang pernah bilang kalau banyaknya orang yang menyukai kita selaras dengan yang tidak menyukai kita. Jadi, hal apa pun itu baik dan buruk emang gak bisa dipisahin. Kaya El sama gue, menurut keyakinan gue. Selalu ada hitam dan putih. Ketika ada yang suka sama gue, udah pasti ada yang gak suka sama gue. Suka dan gak suka ternyata sesimple itu.

Terus, menurut kalian gimana rasanya jadi gue? Enak banget ‘kan? Setiap kalian jalan, orang-orang bakal neriakkin nama, minta foto, tanda tangan, dan banjir hadiah. Itu tadi, ketika haters masih asik ngejelek-jelekin gue, gue malah asik sama orang-orang yang mendukung dan mencintai gue.

Sekali lagi gue tegaskan. Hitam dan putih selalu berjalan berdampingan. Dengan hidup gue yang kalian pikir enak ini, ada harga yang harus gue bayar. Hidup selama dua puluh empat jam dengan jadwal yang udah diatur sedemikian lupa. Jalan sana sini, foto sana sini, manggung sana sini. Belum lagi pikiran-pikiran tentang seorang public figure yang harus selalu keliatan enak dipandang. Betul, jaga penampilan. Gak bisa makan apa pun yang gue mau, demi mempertahankan badan yang ideal menurut mereka. Kalian tau rasanya? Kadang, gue pengen nuker hidup gue sama Maya, kalau bisa.

Beberapa hari yang lalu adalah hari di mana gue berpikir buat nyerah. Lelah udah di ujung tanduk. Napas tinggal separuh, sampai-sampai alat itu harus menunjang pernapasan. Sedangkan, show must go on! Mereka gak mau tau apa yang gue rasain ‘kan? Yang mereka tau, mereka datang buat liat gue yang ngehibur mereka. Mereka Cuma mau liat gue yang senang, tersenyum, dan enerjik. Padahal, kenyataannya gue hampir mati.

 

Sekitar dua minggu lagi, mega konser yang selama ini gue nantikan bakal terwujud. Tempat yang megah itu bakal jadi milik gue dalam sehari. Setidaknya, rasa lelah gue terbayar demi ngebayangin konser impian selama ini. Sebelum kejadian hari itu, kejadian beruntun yang membuat semuanya jadi semakin sulit.

 

***

Siang itu, gue duduk di depan pembawa acara yang dandannya lebih heboh. Sayangnya, dia gak bisa nyaingin aura yang keluar dari seorang Kiran. Meskipun gue cuma pakai gaun yang simpel dan rambut yang diurai, semua mata tertuju ke gue. Well. Aura bintang dua puluh lima juta pengikut.

 

Dia bertanya, gimana caranya gue bisa ngehandle semua kesibukkan yang gue lakuin selama ini. Seperti yang kalian tau, artis pasti punya manajer. Melin, cewek berkacamata yang selalu ada di sekitar gue itu lah yang ngatur segala jadwal dan kesibukkan gue. Sahabat deket yang udah hatam sama segala kelakuan baik buruknya seorang Kiran.

Melin duduk tepat di seberang, hampir berbaur sama kursi penonton yang kebanyakan adalah fans gue dan El. Mereka menyimak baik-baik setiap kata yang keluar dan ya, seperti yang kalian tau, gue harus pinter-pinter ngerangkai kalimat biar mereka makin terkesan dengan apa yang gue ucapin.

“Lalu, Kiran. Akhir-akhir ini ada haters yang kadang suka mampir di komentar media sosial, terlebih sejak Kiran dan El mempublish hubungan. Gimana tanggapan Kiran?”

Sesuai dengan apa yang gue prediksikan, pertanyaan ini pasti bakalan muncul dan jadi pertanyaan wajib semua pembawa acara.

“Kita tidak bisa menyenangkan semua orang. Di situlah mengapa ada sebagian orang yang seringkali kita sebut haters. Yang Kiran bisa lakukan hanya satu. Lakukan dan tunjukkan yang terbaik dari yang Kiran punya.”

Gimana? Apa jawaban gue udah bikin kalian terkesan? Hahaha.

Gue emang selalu ‘menunjukkan’ yang terbaik yang gue punya. Bermain peran misalnya. Gue harus jadi gadis multitalen yang gak kenal lelah. Jadi, ketika gue muncul di depan mereka, sosok itu harus nempel di diri gue. Gak peduli gue capek, gue lelah, gue sedih. Gak ada di kamus mereka. Yang pasti, gue gak mau keliatan lemah. Apalagi di mata haters.

Setelah hampir semua pertanyaan klasik keluar dari mulut lawan bicara gue, sampai di satu pertanyaan yang bikin wajah orang yang gue tatap sesekali itu berubah.

Lihat selengkapnya