“Pokoknya aku mau kita cerai, Mas!”
Perempuan itu berbicara dengan nada tinggi. Setelah mengemasi barang-barangnya di koper kecil, ia bermaksud untuk pergi.
“Tapi, Maya-“
Lelaki di hadapannya mencoba menghentikan, tetapi tangan itu ditepis dengan kasar.
“Aku sudah muak! Aku sudah tidak bisa lagi hidup dengan kamu, Mas Pras! Ngerti gak sih?”
“Tapi kenapa, May? Apa kau memiliki lelaki idaman lain?”
Langkahnya terhenti. Perempuan itu memutar badan. Sejenak, ia menarik napas panjang.
“Mas sadar, gak? Keuangan kita bener-bener turun sekarang! Mas udah gak seperti dulu, Mas! Apa yang bisa aku harapin dari Mas?”
“Hanya karena itu? Karena uang? Mas tahu bisnis yang Mas jalani tidak semaju Wiratama yang tidak akan habis tujuh turunan. Tapi, apakah kebahagiaanmu hanya diukur dengan uang, Maya?”
Wajah Maya berubah. Perempuan itu terlihat kaget mendengar kata Wiratama keluar dari mulut Pras. Sampai akhirnya, Maya terdiam untuk beberapa saat. ‘Mungkin sebuah kebetulan,’ pikirnya.
“Kenapa kau berubah, May? Kenapa baru sekarang kau mengatakannya? Mengapa baru sekarang kau memilih pergi?”
Maya tidak peduli. Tidak menjawab dan melenggang pergi. Lelaki itu tidak bisa menahannya lagi. Ia tahu, seberapa keras ia mencoba, Maya tetaplah Maya. Hanya saja, hatinya penuh pertanyaan. Bagaimana mungkin Maya berubah menjadi seperti ini?
“May, apa Mas berbuat kesalahan padamu?”
Perempuan itu menghentikan langkahnya, tepat di depan pintu. Ia mendongakkan kepala, menahan air mata yang sebenarnya sudah menerobos jendela mata, ingin segera tumpah. Tanpa menengok ke arah suaminya, Maya mengucapkan sesuatu.
“Aku capek hidup kaya gini sama kamu, Mas. Kamu udah gak sekaya dulu. Aku gak mau hidup susah.”
Kalimat-kalimat itu akhirnya menjadi salam perpisahan di malam yang dingin. Pramudya, lelaki yang dinikahinya lima tahun lalu, hanya mampu memandangi punggung Maya yang tak lama hilang ditelan malam.
***
Dua minggu, sebelum malam ini terjadi.
Perempuan itu tengah berbaring di ranjang. Sudah hampir tengah malam, matanya masih enggan terpejam. Lelaki di sebelahnya sudah terlelap, mungkin sudah berkelana di alam mimpi. Maya, ada sesuatu yang menggerayangi pikirannya. Sejak kabar itu sampai di telinga, Maya tidak pernah bisa tidur dengan tenang. Malam-malam selalu ia habiskan seperti ini.
Layar ponsel di dekat lampu tidur menyala. Sebuah pesan masuk. Nomor tidak dikenal. Maya membukanya. Hanya sebuah kalimat.
‘Seta Sasmaya.’
Siapa?
Maya mencoba mengingat-ingat, kepada siapa ia memberitahukan nomor teleponnya akhir-akhir ini. Ia menggelengkan kepala. Tidak ada satu nama pun yang muncul di kepalanya.
‘Siapa?’
Pesan terkirim. Tidak perlu menunggu waktu yang lama, pesan itu berbalas.
‘Kau tidak ingat aku?’
Maya mengrenyitkan dahi. Memutar bola matanya ke atas, berpikir. Belum genap jawaban itu ia temukan, pesan masuk kembali hinggap di ponselnya.
‘Senja di taman kota, Maya.’
Maya membekap mulutnya. Kalimat yang muncul di sana membuatnya terlempar pada kenangan enam tahun yang lalu, sebelum menikahi Pras.