Malam ini, Maya meninggalkan saya. Dia membiarkan saya sendirian dengan hati yang hanya separuh. Bagaimana mungkin Maya bisa secepat itu berubah? Dia bilang muak karena saya tidak lagi seperti dahulu. Saya akui, sejak proyek kemarin dibatalkan, pemasukan saya merosot jauh dibanding tahun-tahun sebelumnya. Tapi, May, apakah hidup harus selalu tentang uang?
Saya tahu, ada yang berbeda dari Maya. Setelah beberapa waktu terakhir, saya tidak lagi melihat senyuman di wajahnya. Saya hanya berpikir, dia lelah dan butuh istirahat. Namun, saya salah. Kenyataannya Maya hanya ingin pergi. Menghilang dari kehidupan saya.
Malam ini, saya terduduk di ambang pintu. Tidak lagi terlihat punggung Maya yang dengan tega memilih lelaki lain dibanding saya yang sudah membersamainya selama lima tahun. Apakah lima tahun yang saya berikan tidak cukup untuk membuat Maya jatuh cinta? Katanya, cinta akan datang beriringan dengan waktu yang berjalan. Sepertinya, Maya adalah sebuah pengecualian.
Dua minggu yang lalu, saya menemukan ponsel Maya yang tertinggal di tempat tidur. Biasanya, saya tidak tertarik dengan barang-barang pribadi Maya. Entah mengapa hari itu, saya tertarik. Sampai akhirnya, saya tahu, sesuatu yang salah tengah terjadi di antara kami.
Sebuah pesan masuk dari nomor tidak dikenal, malam sebelumnya. Saya semakin tertarik untuk mengetahui pesan di dalamnya setelah saya melihat kalimat senja di taman kota. Apakah Maya membuat janji tanpa sepengetahuan saya? Tapi, dengan siapa?
Saat itu saya sadar, bahwa hanya sekadar percaya tidak cukup dalam menjalin sebuah hubungan tanpa ada rasa saling menjaga satu sama lain. Saya mengejar Maya diam-diam, mengikutinya, dan saya menemukan mereka di sana. Dia bertemu seorang lelaki. Saya tidak dapat melihatnya secara jelas karena jarak pandang yang cukup jauh, yang saya tahu sepertinya ada sesuatu di antara mereka. Mereka cukup lama berbincang di bangku usang, sampai matahari memilih bergilir posisi dengan bulan, menggantikannya untuk memasang badan di langit yang gelap.
Setelah itu, Maya semakin berubah. Seringkali saya temukan Maya yang panik ketika saya tak sengaja memegang ponselnya, bahkan hanya untuk memberi tahu ada telepon masuk. Apakah hal yang wajar terjadi antara suami istri? Lagi, mengapa baru sekarang-sekarang ini?
Sampai di suatu malam, saya tidak menemukan Maya di tempat tidur saat saya terjaga. Ponselnya berdering beberapa kali. Sepertinya dia lupa, atau berpikir bahwa saya tidak akan terbangun untuk memeriksa ponselnya. Awalnya, saya masih mencoba untuk tetap percaya bahwa Maya masih bisa saya percayai. Sampai dering itu sekali lagi terdengar dan membuat saya mengangkatnya tanpa pikir panjang.
‘Halo?’
Tidak ada jawaban dari seberang. Sekali lagi, saya memastikan untuk bertanya, tapi telepon itu terputus. Disusul dengan kedatangan Maya dengan tangan yang terulur, meminta ponselnya.
Telepon itu kembali berdering. Maya mengangkat dan melakukan hal yang sama dengan yang saya lakukan. Setelah itu, wajah Maya berubah.
Semalam suntuk, saya tidak tidur. Berharap keajaiban datang, membawa Maya pulang. Sejak awal saya tahu, hati Maya masih milik orang lain. Sejak awal saya pun tahu, bahwa yang mencintai lebih dulu adalah saya. Berjuang memang seharusnya dilakukan seorang laki-laki ‘kan? Tapi, perihal cinta rupanya tidak demikian. Saya tidak tahu, kalau hati yang saya pikir ada dalam genggaman, ternyata kosong. Apa yang saya pikirkan selama ini hanyalah sebuah asumsi yang saya percayai, bukan sebuah fakta karena kenyataannya Maya tetap pergi.
Dalam hidup, semua pasti pernah mengalami patah hati. Begitupun saya. Namun kali ini, patah hati tidak hanya sekadar saya yang ditinggal pergi, tapi juga tentang kepercayaan yang diakali, juga saya yang dikhianati. Bagaimana mungkin saya terus menjalani kisah yang seharusnya menjadi milik kami kalau saya hanya berjuang sendiri?
Dia sudah berlari jauh sekali, sedang saya jalan tertatih. Andai saya dilimpahi banyak uang seperti Wiratama yang bahkan melebihi lelaki pilihan Maya, akankah perempuan itu bertekuk lutut pada saya? Bukankah itu menjadi sebuah keegoisan dan kemunafikan, karena sejatinya dia memilih saya bukan karena cinta?