Menunggu bukanlah hal yang menyenangkan, bukan? Lantas, apa yang aku lakukan selama enam tahun ini?
Aku mendapatkan kabar yang bahkan lebih buruk daripada enam tahun lalu. Ini bukan sekedar aku yang kau tinggal pergi dengan harapan yang sudah kau berikan. Rasanya seolah dunia akan runtuh. Benar, duniaku. Duniaku dengannya.
Hari itu, aku merasa ada yang salah. Nyeri di bagian perutku semakin terasa. Sengaja, tidak kuberi tahu Mas Pras karena aku yakin, suamiku itu akan sangat-sangat khawatir. Kuberanikan diri untuk mendatangi dokter tanpa sepengetahuannya.
Dalam hitungan jam setelah dokter melakukan pemeriksaan, hatiku hancur berkeping. Bagaimana mungkin aku memberitahu Mas Pras? Aku akan semakin membebaninya.
Sejak detik itu, kepalaku tidak henti-hentinya berpikir. Apa yang harus aku lakukan? Menyembunyikan hal ini dari Mas Pras?
Malamnya harinya, Mas Pras pulang dengan sebuah kabar baik. Tapi, tidak bagiku. Menurutku, kabar itu adalah kabar buruk.
“Kamu lihat ini deh, May. Lucu ‘kan?”
Mas Pras menunjukkan ponselnya padaku. Sebuah foto produk dari baby online shop terpampang di sana. Satu set baju, lengkap dengan bando juga sepatu berwarna biru muda.
Aku mengangguk pelan. Menahan pikiran-pikiranku yang mulai kembali bergentayangan di kepala.
“Buat siapa, Mas?”
Suamiku itu tersenyum. Terlihat dari matanya, ia tampak begitu senang.
“Sasya,” jawabnya.
“Sasya?” Aku mencoba mengingat-ingat, nama itu memang tidak asing di telinga. Mungkin, beberapa waktu lalu, aku mendengar nama yang sama, atau Mas Pras mungkin sudah pernah membicarakannya dan aku lupa.
“Bayinya Ben sama Mila.”
Aku mengangguk, benar. Ben dan Mila, pasangan yang tahun lalu menikah. Kerabat jauh Mas Pras yang terlihat sangat bahagia, dan sekarang semakin lengkap kebahagiaannya.
“Sekarang kita beli untuk Sasya dulu, May. Nanti, kita beli untuk bayi kita.”
Bagai ditancap sembilu tepat di dada, kata-kata Mas Pras membuat ucapan dokter kembali terdengar di telingaku. Aku mandul. Tidak bisa memberi kau bayi, Mas! Ingin kumeneriakkannya, meluapkan pada lelaki di hadapanku. Tapi, tatap mata yang penuh harap itu membuatku hanya bisa memendamnya dalam hati. Mas, apa yang harus kulakukan?
Aku masih bisa terlihat baik-baik saja di hadapannya. Tapi, entah sampai kapan aku harus menahan ini semua. Aku tahu, ia mencintaiku. Sangat mencintaiku. Bahkan, sejak awal ialah yang benar-benar berjuang sampai akhirnya hatiku luluh. Lalu, apa yang ia dapatkan? Aku benar-benar tidak berguna. Lima tahun penantiannya sia-sia, karena sampai kapan pun aku tidak bisa memberinya keturunan. Terlebih, aku tidak tahu sampai kapan penyakit ini akan menggerogoti tubuhku. Besok? Lusa? Dua minggu lagi? Aku tidak tahu. Dokter hanya berkata, menyerahkan pada Yang Kuasa adalah pilihan terakhirku, selain melakukan pengobatan dengan biaya yang tidak sedikit. Kanker rahim yang kuderita, sudah terhitung parah.
Setelah kabar itu terdengar di telingaku, aku tidak pernah bisa tidur dengan nyenyak. Terlebih, setiap kali ia berharap tentang bayi yang sudah ia idam-idamkan selama lima tahun ini. Malam-malamku selalu dipenuhi dengan pemikiran-pemikiran kacau. Aku tak mau menambah beban Mas Pras. Apalagi, sejak proyeknya gagal yang membuat keuangannya merosot. Aku benar-benar tak ingin membebaninya lagi dengan penyakitku ini.
Aku tahu, ia tidak akan pernah melepaskanku. Jadi, aku yang harus pergi meninggalkan Mas Pras, ‘kan?
Malam itu, aku menemukan jawaban. Tepat setelah pesan masuk yang membuatku kaget setengah mati. Pesan darimu yang selalu kutunggu di penghujung senja, saat kau berjanji akan datang menemuiku.
‘Seta Sasmaya’
Begitulah pesan pertama yang kuterima. Awalnya, aku bertanya-tanya, siapa yang mengirimiku pesan. Aku tidak memberikan nomor teleponku pada siapa pun. Sampai akhirnya, kalimat terakhir yang membuatku tersadar, itu kau.
‘Senja di taman kota.’
Rama. Itu benar-benar kau. Lelaki yang dulu kucintai sebelum Mas Pram hadir di kehidupanku. Kau meminta untuk kembali, memenuhi janjimu enam tahun lalu. Maka senja di kemudian hari, kita bertemu.
Aku duduk di bangku usang yang menjadi saksi penantian atas harapan yang tak kunjung kutemui. Sampai air mata yang keluar karena jawabanmu lewat telepon, bangku ini tahu betul bagaimana perasaanku.
“Kau sudah lama menunggu, Maya?”
Begitu kalimat pertama yang kudengar keluar dari mulutmu. Pertanyaan yang sangat konyol. Jelas, enam tahun bukan waktu yang sebentar, benar ‘kan?
“Aku memenuhi janjiku, ‘kan?”
Kau tersenyum ke arahku, mengambil langkah untuk duduk di bangku usang yang sama.
“Bagaimana kabarmu?”
Sudah cukup kau berbasa-basi, Ram. Kau bertanya bagaimana kabarku disaat aku benar-benar tidak baik-baik saja.
“May, aku tahu. Enam tahun bukan waktu yang singkat.”
Aku menunduk. Entah mengapa, bukan lagi memikirkanmu yang kini benar-benar ada di hadapanku. Aku memikirkan Mas Pram. Kuakui, aku terlalu bodoh untuk terus menantimu di setiap senja. Meski kenyataannya, aku menikmatinya. Menikmati bagaimana matahari menertawakanku sebelum ia bertukar peran dengan bulan.
“May, aku sudah memenuhi janjiku. Sekarang, aku bisa memberikanmu apa pun yang kau mau. Aku tidak seperti dulu. Kau pun tahu ‘kan alasanku pergi selama ini?”
Aku masih terperangkap dalam pikiranku. Begitu pun kau yang tiba-tiba bergeming. Kesunyian akhirnya menyelimuti kami. Sampai akhirnya, aku memberanikan diri menatap matamu. Mata yang selalu aku sukai sejak dulu. Aku menemukan jawaban.
“Benarkah kau akan memberikan semua yang kupinta, Ram?”
***
Aku mendengar teleponku berdering. Mas Pras sudah tertidur sejak tadi. Sepertinya, suara dari ponselku akan menganggu tidurnya. Dengan cepat, aku menuju kamar tidur. Mas Pras sudah terjaga, seperti dugaanku. Ia mengangkat telepon, tapi sepertinya ia tak menemukan jawaban dari seberang.
“Siapa?”
Ia menggelengkan kepala, “Sepertinya salah sambung. Nomor tidak dikenal.”
Lagi-lagi, kepalaku bekerja dengan cepat. Apakah itu kau, Ram?
“Berikan padaku!” Dengan cepat, tanganku terulur. Takut-takut, nomor itu kembali menghubungi.
Benar saja, dalam hitungan detik ponselku kembali berdering.
“Halo?”
Masih hening. Mas Pras menatapku, demi mendapatkan jawaban atas pertanyaannya. Sampai akhirnya, suara yang kukenali terdengar dari seberang. Dengan nada yang terisak, ia menjawab panggilanku.