Sawang Sinawang

Monita Alvia
Chapter #12

Ramaji Indarto

“Biar kujelaskan, Pras.”

Sejak hari itu, aku tahu bahwa hati yang selama ini menungguku telah berpindah tempat. Tidak lagi menggantungkan harap di setiap senja. Aku tahu, aku yang teramat jahat membiarkanmu sendirian melewati hari-hari selama enam tahun lamanya.

“Benarkah kau akan memberikan apa pun yang kupinta, Ram?”

Aku ingat pertanyaanmu tentang apa pun yang akan kukabulkan. Meski ternyata, pada akhirnya aku harus mendapatkan kesakitan. Tak mengapa, anggap saja ini adalah hukumanku yang meninggalkanmu dahulu.

Aku datang padamu di senja yang sendu. Kau, duduk di bangku usang yang bahkan tidak pernah menghilang dari tempatnya sejak terakhir aku berjumpa denganmu. Awalnya, kukira kau masih dalam penantian akanku yang memang tidak tahu diri. Bagaimana mungkin kau bisa sabar menunggu untuk waktu yang tak bisa dihitung jari?

Kau berkata hatimu sudah milik orang lain. Lelaki yang rupanya sudah kukenal lebih dulu. Pras, setidaknya aku cukup lega karena kau jatuh ke pelukan orang yang tepat.

Air mata menggenang di kelopak matamu. Kau ceritakan, bahwa kau ingin pergi jauh. Seolah balas dendam, ingin meninggalkanku. Tapi, tujuan utamamu adalah pergi dari hidupnya. Lelaki yang amat mencintaimu, meski aku pun masih merasakan hal yang sama.

Kau bilang, hidupmu hanya akan menjadi beban. Aku tidak berpikiran demikian. Tidak akan pernah. Lalu, bisakah kau kembali padaku? Kau menggeleng, ingin menghabiskan waktu dengan kesendirian. Tidak dengannya dan tidak denganku.

Malam itu, kau memintaku untuk mengabulkan permohonanmu. Kau ingin sebuah kamar. Aku tahu, kau pergi darinya ‘kan?

Pagi ini kubawakan makanan kesukaanmu, entah kau masih menyukainya seperti dulu atau tidak. Kau bilang, tidak ingin makan. Belum lama jinjingan itu kutaruh di kabinet sebelah ranjangmu, ketukan pintu mengejutkan kita berdua.

Aku memang mengabarinya. Pram, lelaki yang kau cintai. Aku yakin, ia tidak akan membiarkanmu pergi begitu saja. Kalau aku tidak bisa menjadi orang yang menjagamu, kau harus tetap dalam pelukannya, setidaknya agar aku tahu kau tetap aman.

Ia menerobos masuk saat aku bahkan belum mengeluarkan sepatah kata pun. Ia bergegas dan menemukanmu yang masih duduk di tepian ranjang dengan mata yang sayu. Aku tahu, semalaman kau tak bisa memejamkan mata. Apa sebegitu banyak beban yang hinggap di kepalamu sampai kau tak bisa terpejam, Maya?

Ia bertanya padamu, mengapa kau tega padanya. Mengapa kau harus pergi meninggalkannya dengan jawaban-jawaban yang tak puas ia dapatkan. Kau masih bergeming.

Aku berdiri di belakangnya. Di belakang lelaki yang sekarang masih menjadi suamimu. Kau menengadah, melemparkan pandang ke wajahku yang memberi tanda untuk segera mengatakan yang sebenarnya. Kau menggeleng. Seolah tahu apa yang ingin kukatakan. Kau menolak.

Lihat selengkapnya