Lelaki tua itu duduk menghadap jendela. Ada seseorang yang ia selalu nantikan kedatangannya, tapi sayang penantian itu belum jua membuahkan hasil. Ia hanya bisa menunggu sampai keajaiban berpihak padanya. Lelaki tua itu, menantikan Rama, anak lelakinya yang terakhir.
Seseorang mengetuk pintu. Lalu masuk setelah lelaki yang bernama Wiratama itu menjawab panggilannya.
“Selamat pagi, Pak Wira.”
Ia menoleh. Bukan seseorang yang ia nantikan. Tapi, senyuman tetap ia suguhkan di wajahnya.
“Selamat pagi, Bena.”
Lelaki yang ia sebut Bena itu mendekat. Turut memandangi jendela yang hanya berisikan awan-awan yang bergerak lambat.
“Bagaimana kondisinya?”
Setelah beberapa detik terjeda hening, Bena kembali bertanya.
“Seperti yang kau lihat.”
Lelaki tua itu menjawab tanpa mengalihkan pandangannya.
“Kudengar, putrimu masuk rumah sakit juga,” sambungnya setelah beberapa jenak keheningan menjalar di keduanya.
Bena mengangguk pelan, “Di rumah sakit ini juga.”
Wiratama tersenyum. Ia tahu apa penyebab Disa masuk rumah sakit.
“Kau tahu, Ben?”
Bena mengalihkan pandangannya.
“Dulu, aku melakukan kesalahan yang sama denganmu.”
Bena tidak mengerti apa yang dimaksud Wiratama. Ia membiarkan lelaki itu menyelesaikan perkataannya, tanpa ia sanggah lebih dulu.
“Dan sekarang, aku baru menyesalinya.”
Wiratama mengalihkan pandangannya ke kanan, ke arah pigura kecil yang berdiri di sebelah ranjang. Sebuah foto keluarga, saat ia masih muda dengan dua anak lelaki. Ia menghela napas panjang.
“Tidak ada salahnya menjadi penuh ambisi. Tapi ingatlah, semua yang berlebihan sifatnya merusak.”
Bena menelan ludah. Ialah yang menjadi penyebab Disa menjadi seperti sekarang.
“Kekayaan masih bisa kau bangkitkan ketika kau merusaknya, Ben. Tapi tidak dengan buah hatimu.”
Lelaki itu tersenyum lagi, bukan senyuman bahagia karena Bena melihat kesedihan tetap bersarang di matanya.
“Ketika kau rusak kepercayaan anakmu, kau tidak akan bisa membuatnya kembali percaya padamu.”
Ia sedang berkaca pada apa yang ia lakukan dulu.
“Kau hanya bisa menyesalinya ketika semua sudah tidak bisa kau perbaiki lagi. Bukankah itu menyakitkan?”
Bena sadar, apa yang ia lakukan adalah sebuah kesalahan.
“Hentikanlah sebelum semuanya benar-benar rusak, Ben.”
***