Lantai berwarna putih itu berganti warna. Ternodai darah yang keluar dari pergelangan tangan gadis berseragam putih abu, tergeletak lemas dengan air mata yang berderai di pipi. Tatapan itu terlihat sangat menyedihkan. Di kamar luas dan terlihat nyaman, ia selalu ingin mengakhiri hidup.
“Apa kalian tidak menyayangiku?”
Terakhir kali, kalimat itu terus digumamkannya. Sembari duduk menatapi lemari kaca yang dipenuhi buku-buku tebal, ia menarik napas begitu panjang. Kepalanya mungkin terasa berat. Sampai ia lunglai, merubuhkan diri pada kasur berwarna coklat muda, tempat satu-satunya yang dapat memberikan kehangatan.
Di kamar ini, yang menjadi saksi tangisan yang selalu ia keluarkan setiap malam. Tempat ia melupakan kelelahan dan segala keresahan hidup yang ia jalani. Sampai hari ini tiba, kamar yang tidak pernah berubah, menjadi saksi bagaimana ia mengakhiri rasa lelah yang menggerogotinya selama ini.
Pintu berwarna putih itu diketuk dari luar. Sekali, gadis itu berkedip. Kedua kali, pandangan mata itu mulai berbayang. Sampai pada ketukan yang semakin jelas dan kuat, hitam mengambil alih semua penglihatannya.
‘Selamat tinggal.’
***
Lelaki itu mengulurkan tangan. Dengan setelan jas yang rapi, ia mempersilahkan tamunya untuk masuk. Mereka bertiga mengangguk dengan senyuman yang terpasang di bibir ketiganya. Tidak, hanya dua. Bibir anak lelaki yang berdiri di belakang, yang tak lain adalah anak dari sepasang suami istri itu terlihat datar. Tersenyum sesaat, ketika wajahnya berpapasan dengan tuan rumah. Setelah itu, wajah masam kembali menjadi tampilan yang paling ia senangi. Ia memakai kemeja berwarna hitam. Rambutnya tetata rapi, dengan potongan yang terlihat sangat cocok dengan wajahnya yang dingin. Celana berwana nude, dengan ikat pinggang coklat tua. Semi formal. Meskipun perempuan bergaun merah, dengan bibir yang juga berwarna senada itu sudah menyiapkan setelan jas sebelum mereka berangkat, anak lelaki itu menolaknya mentah-mentah. ‘Hanya makan malam, bukan bertemu seorang presiden dan makan di istana negara ‘kan?’ Perempuan gaun merah itu tak dapat berkutik lagi. Ia tahu, seperti apa kerasnya anak lelaki yang ia besarkan selama enam belas tahun. Dengan berpakaian rapi seperti sekarang ini pun, ia sudah cukup bernapas lega.
Ini memang bukan sebuah makan malam dengan petinggi negara dan di dalam istana negara. Namun, makan malam ini cukup penting bagi lelaki berjas hitam yang sejak tadi menggandeng istrinya. Anak lelaki itu tidak tahu, dan tidak mau tahu. Ia hanya tahu, sikap ayahnya yang menyebalkan. Memaksanya untuk turut bergabung dengan makan malam yang menjemukan ini.
Anak lelaki yang bernama Raynar itu disambut tatapan yang tak kalah dingin dari miliknya. Tidak ada senyuman, bahkan ketika kaki mereka menginjak lantai ruang makan yang luas dan mewah. Dengan lampu-lampu berkilau yang tergantung di langit-langit ruangan, makanan yang beraneka ragam dan terlihat lezat, gadis dengan rambut terurai, terlihat manis dengan gaun selutut berwarna pastel. Berdiri di sebelah perempuan bergaun hitam yang sangat elegan. Rambut disanggul, membuatnya semakin terlihat begitu berkelas.
“Silahkan duduk,” sambutnya begitu keluarga Indarto tiba.
Mereka mengambil kursi masing-masing. Raynar Indarto duduk berhadapan dengan gadis yang masih menatapnya tanpa ekspresi. Ia menebak-nebak, bahwa gadis itu sejalan dengan apa yang ada di pikirannya.
Perbincangan ringan menjadi pembuka di antara kedua keluarga yang tidak hanya menjalin hubungan pertemanan, sebelum memulai pada pembicaraan tentang bisnis yang mulai serius.