Disa duduk sendirian di halte belakang sekolah, menghindari Pak Supri yang sedari tadi sudah menunggu. Ia sudah lelah dan muak. Ingin sehari saja rasanya tidak diikuti Pak Supri kemana pun ia pergi. Ditambah, kejadian semalam yang membuat hidupnya semakin tersiksa.
‘Semuanya gara-gara Raynar.’
Ia masih ingat betul, bagaimana kejadian tadi malam. Terlebih setelah keluarga Indarto meninggalkan meja makan. Andai saja Raynar tidak berkata demikian, mungkin kekesalah ayahnya itu tidak akan kembali meluap-luap setelah beberapa hari mulai mereda.
‘Persetan dengan segala piala dan kejuaraan. Kenapa harus ada hal seperti itu di dunia ini?’
Disa terus menggerutu dalam hati.
‘Kau benar-benar memalukan. Bisakah kau lebih serius dengan pelajaranmu?’
Kalimat demi kalimat yang keluar dari mulut ayahnya terus terngiang-ngiang di telinga.
‘Kau lihat bagaimana anak lelaki itu meremehkanmu?’
Disa mengepalkan tangannya kesal.
‘Mulai besok, kau harus ikut les matematika tambahan selama dua jam!’
Rasanya air mata yang hampir setiap malam keluar kini tak tersisa lagi. Ia menghela napas panjang.
‘Apakah tidak menjadi juara adalah sebuah dosa besar?’
Disa menutup wajah dengan kedua tangan. Pertanyaan itu selalu muncul di benaknya.
‘Apakah kalah adalah sebuah aib yang sangat memalukan?’
Ia tenggelam dalam pikiran-pikiran yang berloncatan, saling sahut. Hanya satu yang ia inginkan saat ini, melupakan semuanya.
“Ayudisa Baswara.”
Suara yang ia kenali sekaligus tak disukai itu terdengar, membuat Disa berhenti menutup wajahnya. Seorang anak laki-laki yang sedari tadi disumpah serapahi, berdiri dengan ekspresi yang masih sama, datar. Tatapan Disa yang tajam seperti tadi malam, tak membuat Raynar beringsut mundur. Ia malah kembali bertanya, “Apa yang kau lakukan di sini?”
Disa masih bergeming. Jelas-jelas apa yang dilakukan Raynar membuatnya seperti ini. Tiba-tiba, senyuman mengesalkan dari bibir Raynar terlihat.
“Menghindari supir pribadimu, kan?”
Disa semakin kesal dengan tingkah lelaki di depannya.
“Bukan urusanmu.”
“Siapa bilang? Mau kupanggilkan supir pribadimu? Atau, mau kuteleponkan Om Bena?”
Disa mengepalkan tangannya, bangkit dari tempat duduk.
“Cukup, Raynar!”
Disa mengedar pandang ke sekeliling, memastikan bahwa Pak Supri tidak dapat menemui dirinya sedang sembunyi di sana. Sedang handphonenya terus menerus bergetar, tanda ada telepon masuk.