Disa memegang pipinya yang merah, masih dengan air mata yang berderai. Ia tahu bahwa apa yang ia lakukan akan membuat ayahnya marah dan seperti biasa, ibunya tidak bisa melakukan apa pun. Namun, ini semua di luar dugaan Disa. Untuk pertama kalinya seumur hidup, tidak hanya batin dan pikiran, tubuhnya turut merasakan kesakitan karena ambisi yang tiada akhir.
‘Siapa yang mengajarimu membangkang?’
Disa hanya bisa tertunduk ketika semua kalimat-kalimat dengan nada tinggi itu terlempar ke wajahnya.
‘Siapa yang menyuruhmu mematikan handphone?’
Kali ini, Disa tidak menyalahkan Raynar sama sekali.
‘Kami mengkhawatirkan kau, Disa. Tidak bisa dihubungi. Tidak mengikuti jam tambahan belajar. Kau mau jadi anak bodoh?’
‘Tidak. Ayah tidak mengkhawatirkanku. Ayah hanya khawatir pada piala-piala dan segala kemenangan itu, bukan aku, bukan perasaanku.’
Disa masih mengeluarkan jawaban-jawabannya di dalam hati, seperti biasa. Sampai akhirnya, pada hari ini, masih dengan seragam putih abu dan tas berwarna coklat yang menempel di punggungnya, anak itu berani mengeluarkan kata-kata.
‘Kau harus di hukum!’
‘Mengapa Ayah tak bunuh aku sekalian?’
Sebuah kalimat yang membuatnya memegangi pipi, terbaring di atas kasur dengan air mata yang berderai sampai pagi. Tidak peduli jika harus berangkat sekolah. Tidak peduli jika jam tambahan belajar semakin mencekik hari-harinya. Tidak peduli jika ia harus tetap makan demi menyambung hidup yang sebenarnya tak ia inginkan.
Ia teringat sesuatu. Sore itu, Raynar mengajaknya ke konser Kiran minggu depan. Benaknya kembali bertanya-tanya, apakah bisa? Haruskah Disa melakukan hal seperti ini lagi? Kabur dengan handphone yang sengaja dimatikan? Lalu, hukuman apa yang akan ia dapatkan selanjutnya?
‘Andai hidupku seperti dia. Aku tak perlu banyak belajar hanya untuk menjadi anak ayah.’
Disa kembali mengingat, bagaimana sepupu yang juga teman mainnya saat kecil itu begitu dicintai Ayahnya. Apa pun yang Kiran lakukan, tidak mendapat hukuman, tidak mendapat bentakan. Apa pun.
‘Dia tidak pintar, tapi tetap disayang ayahnya. Kenapa aku harus menjadi pintar agar ayah sayang padaku?’