Suara lonceng panjang menggema menyusuri segala ranah di SMPN Percut Sei Tuan, sekian detik setelah benda itu berbunyi, muncul teriakan siswa yang merayakan berakhirnya pelajaran sekolah hari ini. Bagai semut yang keluar dari sarangnya, anak-anak itu berhamburan keluar dengan wajah yang tadinya lelah berubah menjadi berseri. Sebagian ada yang langsung pulang, mengingat masakan ibu yang sedari tadi sudah terbayang-bayang, sebagian lagi ada yang lari ke tengah lapangan, membentuk menjadi dua tim, rencananya bermain bola kaki yang sudah mereka bawa dari rumah. Bola kaki itu keras, entah dari mana asalnya.
Salah satu dari sekian banyak anak yang bermain, sedari tadi ada yang terlalu bersemangat. Hanan namanya. Ketika bola ada dalam kuasanya, ia akan menendang bola itu kencang-kencang ke arah gawang buatan. Meski selalu gagal, ambisinya mengalahkan rasa malunya. Beberapa kali para temannya menegur untuk mengoper ketika dia masih berada jauh pada sasaran, namun anak itu tidak peduli. Ia ingin mencetak gol dengan kakinya sendiri.
Semakin lama, anak-anak tidak terima, mereka marah. Bola yang tadinya masih digiring sesuka hati, mendadak diambil paksa dan dibuang. Tentu hal itu menyulut emosi Hanan. Ia merampas bola itu, memegang erat tanda sekarang bahwa tidak ada yang boleh menguasai bola itu.
Niat hati, ingin menyerang kepala anak yang merebut paksa saat Hanan menggiring bola, namun pandangannya berubah ketika netra mendapati sosok anak kecil yang tubuhnya kurus sedang keluar dari kelasnya. Anak itu menjadi pelampiasan. Ketika anak itu mendekat, Hanan menendang bola dengan tendangan terbaiknya.
Buk!
Suara dentuman antara kepala dan benda bulat itu tidak dapat terhindarkan, mengenai anak tak berdosa yang baru saja keluar dari kelas.
Suasana yang sedikit tegang antara anak-anak yang bermain bola tadi seketika sirna melihat kejadian barusan. Suara tawa menggelegar ke seantero halaman sekolah. Hampir semua murid di sana menikmati kejadian barusan. Mereka tertawa terbahak-bahak, seperti sedang menonton film komedi yang diputar secara langsung. Ada juga yang ikutan tertawa seakan tidak mau ketinggalan momen, padahal dirinya sebenarnya tidak mengerti betul apa yang sedang terjadi, intinya mereka tertawa aku juga harus tertawa.
Sedangkan tokoh utama yang menjadi pusat perhatian kejadian ini menunduk lesu, mengusap-usap kepalanya yang kotor terkena bola. Dia tidak menangis, hanya sesekali merintih karena pusing yang melanda akibat tabrakan kencang antara kepalanya dengan benda bulat itu. Dia tidak bohong jika ini sakit dan membuatnya hampir kehilangan keseimbangan saat berjalan. Keadaan semakin parah ketika suara tawa puas terdengar mengaung-ngaung tanpa henti. Dalam benaknya, dia sedikit menyesal untuk cepat pulang. Keadaan sekolah masih ramai dengan anak yang bermain bola. Sungguh keputusan yang sangat salah. Lihat? Sekarang dia menjadi bahan tawa anak-anak nakal itu.
Tanpa sedikit pun inisiatif untuk membalas, dia akhirnya mengembalikan bola ke arah Hanan. Dalam batinnya menyuarakan untuk tidak berurusan dengan anak bertubuh bongsor itu. Sudah jelas jika dia kalah telah secara fisik dengan Hanan. Dia memutuskan untuk mengalah, lantas kembali berjalan, seolah kejadian beberapa menit tadi tidak pernah terjadi.
Apa karena umur yang masih belum dewasa atau karena memang namanya anak-anak yang catatannya terkadang suka mencari masalah, dia dihentikan secara paksa dengan menarik tasnya. Naasnya, yang sedang ingin mencari masalah adalah Hanan, sosok yang sangat ingin ia hindari.