Dini hari sekali, ketika langit masih hitam dan ayam belum berkokok, Agam terbangun dari tidurnya. Meraba ke segala arah dengan mata yang berusaha untuk terbuka. Sosok Abang tidak ia temukan di sampingnya. Menyadari itu, dengan mata yang masih terkantuk-kantuk, Agam bangkit. Dari dalam kamar, Agam menyadari adanya suara berisik dari belakang rumah, lampu dapur yang menyelip di antara celah dinding kayu rumah Agam, semakin membuatnya yakin bahwa Abang sedang di belakang rumah. Keyakinan itu meninggalkan jejak penasaran pada dirinya, sedang apa Abang di belakang rumah di dini hari seperti ini?
Agam mendapati pintu belakang rumah setengah terbuka. Ketika membukanya lebar, dahinya mengernyit keras, heran dengan Abang yang membongkar barang-barang bekas di sana. Apa lagi kini, di depan Abang sudah ada sepeda lama yang katanya milik ayah. Abang pernah bilang kepada Agam, sepeda ontel itu tidak dipakai lagi karena sudah rusak. Jadinya, Abang menaruhnya di belakang rumah dan kemudian menumpuk barang-barang kecil di atasnya.
Saking lama dibiarkan, kondisi sepeda itu memprihatinkan. Hampir sembilan puluh lima persen kerangkanya berkarat. Lampu pada benda itu tak dapat berfungsi lagi, sementara kursi belakang sudah tak bisa diduduki karena patah sebelah. Yang lebih naasnya, pedalnya macet, tak bisa dikayuh. Benar-benar tidak layak pakai.
“Mau dibuang?” tanya Agam tiba-tiba.
Abang terkejut melihat Agam yang sekonyong-konyong sudah berdiri di ambang pintu dengan wajah bantalnya. Laki-laki berumur dua puluh tahun itu menggaruk tengkuk yang sebenarnya tidaklah gatal. Bukankah aneh melihat orang mengobrak-abrik barang lama di jam-jam ini? Hal itu jelas terlihat dari sorot mengintai Agam.
Sementara itu, daripada menunggu jawaban Abang, Agam mengedarkan penglihatannya. Abangnya berhasil mengubah tempat yang tadi siang Agam bereskan, menjadi tempat yang penampakannya tak pernah terjamah selama ribuan tahun. Barang-barang yang dibongkar oleh Abang hanya untuk mengeluarkan satu sepeda menyebar dimana-mana. Kacau sekali. Benar-benar kacau!
“Jangan suruh aku untuk beresin itu!”
Sekali lagi, Abang menggaruk kepalanya yang tidak gatal, kemudian terkekeh. Abang kemudian menyandarkan sepeda yang sudah butut itu di tempat yang mudah dijangkau. Menyingkirkan beberapa barang yang tergeletak di tanah, kemudian duduk di ambang pintu.
“Sisanya besok saja, hehe.”
Melihat itu, Agam ikut duduk di samping Abang.
“Kenapa Abang ambil sepedanya? Bukannya sudah rusak?” Agam kembali melempar pertanyaannya. Ia menatap abangnya dari samping. Sedangkan yang ditatap, malah menatap lurus ke depan, ke arah rumput-rumput tinggi yang dibiarkan tumbuh begitu saja.
“Mau dipakai.”
Jawaban Abang sukses membuat dahi Agam berkerut. “Agam tahu, walau sama-sama butut, tapi motor pemberian Om Haris itu kesayangan Abang. Mana mau Abang naik sepeda begini.”
Agam menyolot, menatap Abang tidak puas karena jawaban yang diberikan.
Abang mengubah pandangannya ke arah Agam. Kemudian tersenyum jahil. “Krisis Asia yang terjadi, berdampak dengan Indonesia. Abang dengar BBM mau naik. Masih desas-desus. Kata kawan Abang, buat siap-siap. Tapi Abang bingung, siap-siap itu yang bagaimana? Jadi itu—“ Abang menunjuk sepeda butut itu dengan bangga.