"Agam minta maaf.”
Setelah mengumpulkan niat, Agam baru bisa menceritakan satu hari setelah kejadian pertengkaran itu. Semua ia ceritakan termasuk surat panggilan wali. Tidak berani menatap wajah abang, Agam memilih untuk memeluk Abang dari belakang. Sedikit harap dalam hati Agam agar abangnya bisa luluh dengan cara memberi pelukan seperti ini.
“Agam, lihat Abang.” Abang membuka pelukan Agam. Ia berbalik agar bisa melihat wajah Agam.
“Hanannya ngga kenapa-kenapa ‘kan?” Agam mengangguk. Pukulannya hanya meninggalkan jejak merah pada pipi anak itu. Saat pulang sekolah, Agam lihat jejak merah itu pun telah hilang.
“Sesekali membela diri karena diejek ngga masalah kok. Abang saat usia masih lima tahun pernah pukul anak orang juga. Karena ngejek Abang yang giginya ompong waktu itu, hehe.”
Pengakuan Abang tiba-tiba membuat Agam terkejut, menatap Abang tidak percaya. Selama Agam hidup, Abang itu bisa dikatakan lemah lembut. Dia penyayang. Saking penyayangnya, Abang lebih memilih untuk memakai kelambu saat tidur daripada harus menggunakan obat nyamuk, alasannya karena tidak tega membunuh binatang itu. Dan saat ini, Abang mengakui bahwa dia pernah memukul orang lain di usianya yang masih sangat belia. Agam takjub. Abangnya penuh kejutan.
“Tapi, lain kali jangan diulangi lagi. Mau kayak gimana pun, berkelahi itu ngga baik.”
Agam bernapas lega setelah mendengar Abang. Segala beban pikiran yang menumpuk, rasanya terbang begitu saja. Abangnya tidak sedih dan Agam bersyukur akan hal itu.
“Besok Abang mau ke IKIP, pulangnya mampir ke kota buat beli baju bola buat Agam. Mau yang warna apa, Gam?”
Topik berganti, tetapi karena alasan yang tidak diketahuinya, Agam kurang menyukainya. Tidak menjawab pertanyaan dari Abang , Agam memilih untuk bertanya kembali. “Untuk apa Abang ke kota?”
Akhir-akhir ini, kata ‘kota’ terus terngiang di telinga Agam. Dari mulut ke mulut, kata itu terus terucap sepanjang hari. Awalnya tidak menjadi benalu pikiran pada Agam, tetapi semenjak kata ‘demo’ dan ‘rusuh’ menjadi tambahan dalam cerita-cerita, Agam mau tidak mau jadi waspada, terlebih kepada abangnya yang mendapat pekerjaan tak tentu tempat. Agam takut abangnya mendapat pekerjaan di kota sana.
“Abang bilang, ketok pagar kayu di rumah paman haiya haiya itu belum selesai?” Agam seperti menyerbu Abang yang hendak melakukan kesalahan. Berbeda dengan Agam yang rautnya penuh kerisauan, Abang malah tersenyum mendengar Agam menyebutkan ‘paman haiya haiya’ kepada Ah Kong.
“Cuma sebentar. Abang gantikan pak Dasri pasang jendela yang rusak di IKIP. Ngga sampe satu jam kok. Jadi abis dari kota, Abang langsung ke sekolah Agam buat ketemu sama wali kelas Agam, ya?”
“Jangan ke sana. Mereka bilang ada demo. Jangan ke sana, Abang.”