Sayang Abang

Rissa Sahara
Chapter #6

Abang tidak Datang #6


Sejak lonceng istirahat berbunyi, Agam sudah mondar-mandir di depan pintu masuk sekolahnya. Setiap beberapa menit sekali, kepalanya mendongak ke arah jalanan, mengedarkan pandangan, berharap mendapatkan siluet seseorang yang dia inginkan. Pun ketika matahari memancarkan pancaran cahayanya yang teramat terang dan panas, tidak dapat membuat gentar Agam untuk tetap tinggal di sana.

Lima belas menit berlalu, ketika lonceng kini berbunyi kembali, pertanda istirahat telah berakhir, Agam menghela napas. Dia mengingat kata Abang semalam, katanya akan datang sebelum istirahat. Embusan napas pasrah kembali terdengar. Agam menendang kerikil asal, melampiaskan sedikit kekesalannya lewat benda tak bernyawa itu. Jika boleh jujur, Agam tidak sedikit kesal, melainkan sangat kesal. Jika ingin menuruti perasaannya, ketika melihat Abang nanti, Agam akan mendiamkannya.

Namun, menepis semua egonya yang tidak berguna itu, sembari menutup matanya, ia meyakinkan dirinya bahwa Abang sebentar lagi datang. Oh, mungkin pekerjaannya memang membutuhkan waktu yang lama. Bisa saja, Abang terlambat karena hal itu, ‘kan?

Agam mengangguk setelah mencari alibi yang dapat digunakan oleh abangnya. Dengan langkah yang sedikit gontai, Agam kembali ke kelas. Dalam radar pandangan Agam, masih bisa ia lihat siswa yang masih saja berkeliaran padahal lonceng sudah berbunyi beberapa menit yang lalu. Salah satu siswa itu, ada Hanan yang berdiri di tepi lapangan, sedang menatap Agam tanpa ada gurat ekspresi di wajahnya. Tidak memedulikan akan hal itu, kaki Agam terus melangkah menuju kelasnya.

“Agam, saya tunggu wali kamu sampai pulang sekolah nanti.”

Hanya anggukan yang dapat Agam berikan kepada wali kelasnya yang berdiri di ambang pintu kelas. Selepasnya, guru itu pergi entah ke mana. Agam merebahkan kepalanya di atas meja. Sebentar lagi pelajaran bahasa Indonesia, bagi Agam guru yang mengajar mata pelajaran tersebut sedikit lebih ramah dari guru-guru yang lain. Untuk itu, angin dari mana, Agam memutuskan tidur di kelas ini. Padahal posisi Agam berada di bangku kedua setelah meja guru.

Anehnya, ketika guru itu masuk dan Agam pura-pura tidur, tidak ada yang membangunkannya, pun termasuk ibu itu sendiri. Karena dibiarkan demikian, Agam memutuskan untuk benar-benar tidak mendengarkan kelas ini.

“Sudah biarkan saja, dia tidak ribut seperti kalian.”

Saat mendengar itu, senyum tipis Agam mengembang. Dalam hatinya bersorak kemenangan. Tidak sia-sia juga Agam mengambil hati guru bahasa Indonesia, Agam jadi bisa tidur seperti ini.

Jika dipikir-pikir, ketika Agam membuat masalah, para guru tidak kentara memarahinya. Agam hanya menerima beberapa nasehat, selebihnya seperti yang ia lihat, Hanan justru menerima lebih banyak wejangan. Sikap Agam yang selama ini tidak banyak bicara dan selalu patuh saat berada di sekolah, dapat membuat para guru maklum jika sesekali Agam terlibat masalah. Berbanding terbalik ketika Hanan, siswa yang sudah ditandai sebagai biang masalah oleh para guru itu, tidak akan mendapat sikap maklum dari guru-guru.

Lihat selengkapnya