Bagas benar-benar terjebak. Terhitung sudah berapa lama dia tidak bisa keluar dari pelataran kampus ini. Hawa semakin panas. Gemuruh mahasiswa yang lalu lalang serta berbagai celoteh yang terdengar, membuat Bagas merasakan kelelahan yang amat berarti. Padahal, dia hanya duduk di pojok bangunan, tempat yang teduh, menunggu kapan gerbang dibuka oleh aparat. Sosok Monang yang menjadi harapan bagi Bagas pun tak kunjung ia tangkap dengan netranya.
Hari semakin petang. Panas berganti hangat. Bagas masih terjebak di sini. Pikirannya tentu sudah melayang pada sang adik. Bagas sudah berjanji untuk datang ke sekolah Agam namun malah terjebak di sini. Agam pasti kecewa, anak itu pasti sangat kesal. Terlebih, tak ada alat komunikasi yang dapat dipakai oleh Bagas. Rumahnya tidak memiliki telepon genggam, karena sebelumnya dia pikir tidak membutuhkan benda itu. Jika memang membutuhkan pun, mereka akan ke rumah Yanti untuk meminjam telepon.
Bagai tersengat aliran listrik, Bagas bangkit dengan tergesa-gesa. Pikirannya terlalu pendek sedari tadi sehingga melupakan telepon milik keluarga Yanti. Mengingat hal itu, dengan harap-harap cemas, semoga Bagas bisa meminjam telepon genggam milik salah satu mahasiswa di sini.
Beberapa menit bertanya, akhirnya ada yang bersedia meminjamkan telepon genggam miliknya. Laki-laki berperawakan sangar dengan panjang rambut sebahu. Siapa sangka, dia mau berbaik hati kepada Bagas. Tanpa pikir panjang, dengan modal ingatan nomor telepon keluarga Yanti, Bagas berharap bisa mengabari adiknya.
“Halo?” Hati Bagas riang gembira sekaligus lega mendengar suara ibu Yanti.
“Halo, Bu. Saya Bagas. Kalau boleh tahu, Agam sekarang ada di mana?”
“Oh Bagas! Akhirnya ada kabar juga. Agam sedari tadi di sini, wajahnya berkerut karena menunggu abangnya. Sebentar ya.” Tepat seperti dugaan Bagas, Agam kesal.
“Abang! Sekarang di mana?! Cepat pulang!”
Teriakan Agam dari seberang sana, sedikit membuat tangan Bagas menjauhkan telepon dari telinganya. Agam langsung menyodornya dengan pertanyaan dan menyuruhnya untuk pulang. Jelas sekali dari suara adiknya itu, tersirat rasa khawatir dan kesal yang bercampur baur menjadi satu.
“Agam, dengarkan baik-baik ya. Saat ini Abang ngga bisa keluar dari pelataran kampus. Banyak aparat di luar gerbang menutup pintu. Abang terjebak bersama mahasiswa yang lain. Agam jangan khawatir ya, mungkin sebentar lagi, dibukakan pintu.”
Setelah mengatakan hal itu, butuh waktu cukup lama bagi Bagas untuk mendengar jawaban dari Agam. Dia sudah harap-harap cemas. Agam memang tipikal adik yang pengertian, tetapi sepertinya menurut Bagas, situasi kali ini tidak dapat membuat adiknya lepas dari kekesalan.
“Makan? Sudah makan?”