Teriakan membabi buta bertubrukan satu sama lain mengiringi temaram malam kali ini. Beberapa kali dentuman peluru yang dikeluarkan dari senapan terdengar oleh panca indra. Gas air mata yang ditembakkan membaur dengan udara, meninggalkan kesan perih pada penglihatan. Umpatan kian terdengar sahut-sahutan. Aksi balas-balasan melempar batu tak terhindarkan. Mahasiswa bertebaran ke segala arah. Gerbang depan telah dibuka, tetapi pemandangan apa ini?
Tidak dapat mengeluarkan suara atas apa yang telah ia lihat secara langsung di depannya, Bagas ternganga. Antara aparat dan mahasiswa layaknya bermusuhan. Keduanya serasa saling membenci satu sama lain. Pergolakan terjadi. Pikirannya melalang buana. Beberapa menit yang lalu, suasana tidak kacau seperti ini. Katanya, gerbang memang akan dibuka untuk membiarkan mahasiswa pulang. Lalu, apa ini?
Lagi pertanyaan itu muncul tanpa ada jawaban pasti. Gerbang depan tak dapat dilewati. Aksi serang-serangan belum juga berhenti. Masih dalam sikapnya yang tiba-tiba membisu, sebuah tarikan paksa membawa tubuh Bagas berlari mundur menjauhi area kerusuhan. Berlalu memasuki bagian kampus paling dalam, jauh dari kerumunan.
Menyelamatkan diri. Apa ini menyelamatkan diri namanya? Ketika Bagas tahu, ada orang-orang yang butuh bantuan. Ketika mata Bagas melihat sendiri ada penganiayaan yang terjadi. Ketika Bagas tahu, ada teriakan perempuan yang meraung ketakutan di sana. Apa Bagas boleh berlari seperti ini?
“Kau bilang, adikmu menunggu di rumah, ‘kan? Jadi kita harus di sini sampai situasi reda.” Satya, pelaku penarikan paksa barusan. Terengah-engah karena berlari. Laki-laki itu melirik ke berbagai arah, berjaga tak ada aparat yang mendekat.
“Saat gerbang dibuka untuk kita pulang, ada seorang provokasi entah dari mana, melempar batu. Kemudian kacau. Emosi orang-orang itu meledak!”
Selama diamnya, Bagas masih menangkap maksud dari Satya. Bagas juga mengerti mengapa ia ditarik seperti ini. Tetapi, nuraninya seakan tidak terima ia bersembunyi seperti ini.
“Tapi tadi ada perempuan yang jatuh di depan mataku. Ah tidak, ada banyak. Bagaimana ini?” Bagas mengungkapkan isi hatinya. Fokusnya masih pada kejadian tadi. Orang-orang yang berlarian, aparat dan mahasiswa yang saling beradu, dan para perempuan yang harus dilindungi.
“Ingat saja ucapan adikmu. Aku akan kembali.”
Satya seperti tersadar akan ucapan Bagas. Dia mengingat teman-temannya yang sekarang butuh uluran tangan di tengah situasi kacau seperti ini. Bagas ditinggal sendiri. Tubuh Satya yang berlari ke arah kejadian, perlahan menghilang ditelan temaramnya malam.
Bagas mondar-mandir. Suara ricuh masih belum reda. Di tempat persembunyiannya yang terbilang cukup jauh dari lokasi kerusuhan, telinganya masih saja menangkap suara teriakan nelangsa itu. Rasa takutnya bercampur dengan rasa ibanya. Ia ingin ke sana, setidaknya memberikan bantuan apa saja, tetapi tidak bisa dipungkiri, ada getar takut yang masih saja menyelimuti.
Tak butuh waktu lama, serangan panik tiba-tiba menghantuinya. Sebanyak mungkin ia menghirup oksigen, mengeluarkan rasa sesak dalam dada yang tiba-tiba muncul.
Dor.
Dor.
Bagas kalang kabut. Dia merutuki dirinya sendiri yang tidak bisa berbuat apa-apa. Pikirannya tiba-tiba menjadi pendek ketika rungunya mendengar teriakan perempuan yang tertahan, sangat dekat dari tempatnya bersembunyi.
Tanpa pikir panjang, Bagas keluar. Mencari arah dari suara berasal. Ia mempertajam pendengarannya di tengah situasi yang ribut ini.