Sesuatu yang buru-buru dan gegabah, tidak akan membawa hasil yang diinginkannya. Bisa saja, membawa kita pada sesuatu yang lebih buruk. Perlu adanya berpikir sebelum bertindak. Supaya kadar kemalangan bisa dihilangkan. Tapi jika dilibatkan pada waktu yang mendesak?
Bagas tidak punya waktu untuk berpikir. Ketika ia tahu, dibalik pintu itu seorang perempuan hendak direbut kesuciannya. Bukan. Lebih tepatnya, beberapa perempuan. Mendengar orang-orang tidak bertanggungjawab itu tertawa cekikikan sudah membuat darah Bagas mendidih. Emosinya memuncak.
Alhasil, Bagas menggebrak keras pintu yang setengah tertutup itu. Napasnya terengah-engah, matanya melotot tajam. Pemandangannya yang ia dapat dari hasil membuka pintu secara paksa benar-benar semakin membuat Bagas kehilangan kata-katanya. Ada enam laki-laki di sana, selebihnya perempuan yang terduduk dengan mulut yang dibekap. Yang semakin membuat Bagas kehilangan kontrolnya adalah salah satu laki-laki tersebut, hendak membuka baju perempuan berkulit putih pucat. Sebelah bahunya terlihat, sedikit diberi tarikan, Bagas tidak bisa membayangkan apa yang terjadi pada perempuan itu.
Dug.
Benar. Tunggu apa lagi? Laki-laki itu sontak mendapatkan pukulan mentah dari Bagas. Hal itu sudah pasti mengundang perhatian yang lain. Lima laki-lain tersontak kaget karena satu temannya dihajar secara mendadak.
Sudah berapa patah kata kotor yang Bagas keluarkan hari ini. Ketika memukul, mulutnya pun tak henti untuk mengumpat laki-laki yang kini berada di dalam kuasanya. Namun, hal itu hanya terjadi sementara. Badan Bagas ditarik kencang oleh laki-laki lain, sontak ia mendapatkan pukulan di pipinya.
Perkelahian antara Bagas dan lima laki-laki tidak dapat terelakkan. Naas, Tidak hanya kalah pada jumlah, Bagas yang tidak punya dasar bela diri, juga kalah telak pada kemampuan berkelahi. Hidup yang hanya ia isi dengan bekerja, mungkin membuat ototnya kuat, tetapi otot kuat juga tidak cukup untuk melawan lima laki-laki ini. Pergerakan Bagas terkunci. Kedua tangannya berhasil dikunci oleh mereka. Di hadapannya berdiri laki-laki berambut ikal pirang sebahu. Ia menyeringai.
“Anak tikus.”
Bug.
Nyeri akibat pukulan mendadak itu sampai ke ulu hatinya. Tak kuat menahan, tubuhnya ambruk. Selanjutnya, hanya ada rasa sakit yang Bagas rasakan. Tendangan bertubi-tubi ia dapatkan secara mentah-mentah. Perut, punggung, kepala, hingga kaki, Bagas tidak dapat lagi membedakan dari mana rasa sakit berasal. Seluruh tubuhnya berdenyut hebat, perih, hingga nyeri.
Suara tawa yang menggelegar, menusuk masuk ke pendengaran Bagas. Kini, tidak hanya fisiknya yang sakit, ada rasa aneh yang merasuki jiwanya. Takut akan suara tawa yang ia dengar. Pikirannya menggila, bersamaan dengan suara tawa itu yang menggelegar ke seluruh ruangan.
Badan Bagas yang sudah hampir tak berdaya, di angkat kembali oleh mereka. Kesadaran Bagas masih sempurna walau sesekali redup entah karena apa. Bau anyir darah menusuk hidung, berasal dari tubuhnya. Aliran darah yang menyentuh kulit kepala dan kaki, samar-samar ia rasakan.
Ada dorongan untuk melawan pada diri Bagas, tidak peduli sehancur apa ia sekarang. Tonjokan dan tendangan lemah ia lempar secara sembarang, berharap tepat pada sasaran. Sayang, serangan itu tak cukup mampu membuat lawan berkutik, barang sejengkal.
“Masih sadar?” Seringai tajam tercetak begitu jelas di hadapan Bagas. Tubuhnya kembali dihantam ke lantai.
“Serang kaki dan tangannya.”