Kretek kretek. Tek.
Vespa yang dikendarai secara ugal-ugalan oleh Monang akhirnya berhenti di area rumah sakit. Ia dan Agam bergegas masuk, mencari sosok yang hendak mereka temui.
Di luar dugaan, kondisi rumah sakit saat ini sangat ramai, padahal jam sudah hampir menunjukkan tengah malam. Hampir semua lalu lalang orang-orang yang keluar masuk dari UGD adalah mahasiswa. Dapat dengan jelas tertangkap dengan penglihatan, kondisi mereka yang jauh dari kata baik. Tidak hanya itu, beberapa wanita dan laki-laki paruh baya juga terlihat dengan luka-luka kecil di tubuhnya. Seakan mereka semua terluka secara bersamaan dengan kejadian yang sama juga.
Agam yang menyaksikan riuh kondisi UGD sempat terpaku, bibirnya tak mampu berucap. Untungnya, Monang segera menyadarkannya sehingga ia bisa melanjutkan mencari keberadaan Abang.
“Agam, sebelah sini.”
Deg.
Jantung Agam memompa lebih keras dari biasanya. Bibirnya kembali kelu, kali ini ia bahkan tak mampu menggerakkan tubuh bahkan satu jari pun. Dunianya seolah berhenti berotasi. Rasa pusing menghampiri diri Agam hingga ia tidak sanggup menahan berat dirinya sendiri. Agam ambruk, tepat di depan ranjang UGD yang ditiduri oleh abangnya.
Agam ingin mengelak tetapi tidak bisa. Meski sebelah wajah itu sudah membengkak dan nyaris tidak dapat dikenali, meski hampir separuh badan dan kaki dibalut perban yang sudah bercampur dengan darah hingga tubuhnya tak dapat dikenali, Agam sadar betul, bahwa di ranjang itu adalah sosok abangnya yang ia tunggu seharian ini.
Agam pikir, abangnya hanya sakit biasa secara mendadak atau kecelakaan kecil saat bekerja. Mengapa pemandangan seperti ini yang ia dapat setelah seharian penuh menunggu Abang pulang?
Panggilan dari Monang tidak dapat Agam tanggapi lagi. Fokusnya sudah benar-benar tertuju pada ranjang itu. Ia bangkit perlahan-lahan dibantu oleh Monang, mendekati Abang. Dari jarak sedekat ini, Agam semakin melihat luka-luka yang ada pada tubuh Abang. Separuh dari wajah abang membengkak. Bau anyir darah pun tak dapat ia hentikan untuk masuk ke indra penciuman, sangat menyengat.
Sampai malam semakin larut, Agam masih belum memindahkan posisinya barang sejengkal pun dari Abang. Kesibukan UGD malam ini yang terus-menerus tanpa henti masih ia abaikan, pun ketika Monang bertanya kepadanya atau sekadar mengajak Agam berbicara.