Brak!
“ABANG JAHAT!”
Emosinya memuncak. Kepala Agam memanas. Tenggorokannya tercekat. Derai air mata keluar begitu saja. Ada perasaan benci yang membuncah. Perasaan benci pada dirinya sendiri.
Setelah membanting pintu dengan keras, Agam keluar rumah begitu saja. Tidak lain, tujuannya ke rumah Yanti. Perasaannya sangat tidak bagus jika terus bertahan di rumah. Dia butuh jarak untuk saat ini. Saat sampai, Yanti menyambutnya dengan tatapan tanya. Namun, anak itu tetap diam meski Agam tahu ia dicegat oleh segala pertanyaan.
Di bawah pohon mangga rumah Yanti, Agam duduk. Berusaha meredakan segala amarahnya yang masih tersisa. Percakapan ia dan Abang hari ini, berhasil membuat Agam nyaris kehilangan kontrol sekaligus membencinya dirinya sendiri.
Kilas balik kejadian tadi dengan Abang terulang kembali.
***
Setelah tiga hari berada di rumah sakit, Abang akhirnya pulang. Meski bengkak di wajah masih terlihat, dan kaki tangan masih susah digerakkan, Abang tetap pulang. Agam tidak mengerti mengapa Abang cepat kembali dari rumah sakit padahal kondisinya masih belum dikatakan baik. Saat Agam bertanya, Abang hanya menjawab dengan alasan rumah sakit sedang dipenuhi oleh pasien yang lebih parah dari Abang. Jadi, sebaiknya, Abang pulang. Alasan itu sebenarnya tidak diterima oleh akal Agam. Tetapi, ia juga ikut menurut.
Sekarang, Agam tengah membasuh badan Abang. Yang Agam syukuri saat ini adalah abangnya sudah bisa berbicara santai. Tidak seperti ketika Abang baru bangun waktu itu. Setidaknya, hal itu yang membuat Agam tidak terlalu berontak ketika Abang memutuskan untuk pulang dari rumah sakit.
Monang datang dari dapur. Semenjak kejadian yang menimpa Abang, Monang jadi lebih sering berada di dekatnya. Ketika ditanya perihal jadwal kuliah, orang tua Monang mengatakan untuk tidak dulu ke sana karena situasi masih sedang kacau. Demo masih saja berlanjut. Pun ketika orang tua Monang pergi menjenguk Abang, mereka mengatakan lebih rela Monang menghabiskan waktu di sini, daripada kuliah di saat seperti ini. Karena itu, dengan senang hati, Monang tidak kuliah.
“Mangan jolo tu san¹, Bagas, Agam. Awak buatkan bubur.”
Aroma sedap menguar bersama kepulan asap dari tiga mangkok yang dibawa Monang. Bagas yang sudah dibasuh, ikut makan bersama Agam dan Monang. Hingga sisa suapan terakhir, mereka makan tanpa bersuara. Agam yang paling muda, cukup tahu diri untuk membantu Monang membawakan mangkuk kotor ke dapur. Ia tidak lagi bergabung bersama mereka ketika tahu, mereka sedang berbincang berdua. Sekarang, Agam memilih untuk masuk ke kamar dan tidur di pagi hari. Sebab semalam, Agam nyaris tidak tidur karena menjaga Abang.
Dua jam mengembara di alam mimpi, mata yang masih berat akhirnya terbuka. Agam menyadari tubuhnya diselimuti. Ia pikir, itu perbuatan Monang. Sayup-sayup, saat kesadaran masih setengah-setengah, dua rungunya menangkap samar-samar suara Abang dan Monang yang masih bercakap. Dengan sedikit gontai, Agam berjalan ke luar. Tetapi langkahnya terhenti sebelum melewati pintu, ketika mendengar sesuatu yang tidak mengenakkan keluar dari mulut abangnya.
“Aku sudah bilang berapa kali Monang. Aku tidak mau melanjutkan pengobatan meski aku tahu kondisiku masih belum stabil. Aku harap kau mengerti.”
Agam menelan salivanya dengan susah. Bolehkah ia menguping?
“Cam mana awak ngerti², kau tak bagi aku alasan kau.”